Jakarta (ANTARa News) - Ketua I Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Dr Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan, tiga faktor penyebab anak menderita gizi buruk khususnya balita, yakni faktor keluarga miskin, faktor ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak, dan faktor penyakit bawaan pada anak, seperti jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernafasan dan diare. Sri Rezeki bersama Ketua PP IDAI Dr Sukman T Putra, SpA, Ketua Umum PB IDI Dr Fahmi Idris, MKes, Ketua IDAI Cabang Jatim Dr Syamsul, pengurus IDAI pusat Dr Soedjatmiko, SpA dan Dr Bambang Supriyatno, SpA, mengemukanan hal itu di Jakarta, kemarin. IDAI berencana menyelenggarakan "Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XIV" di Surabaya 5-9 Juli 2008 dan "4th Asian Congress of Pediatric Infectius Diseases" (ACPID), di Surabaya 2-5 Juli 2008. Menurut Prof Sri Rezeki, guru besar FKUI itu, ketiga faktor penyebab gizi buruk harus diatasi oleh pemrintah bersama seluruh komponen masyarakat Indonesia, seperti faktor kemiskinan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pendapatan keluarga miskin sehingga mampu memberikan gizi yang baik dan seimbang bagi anaknya. Pemerintah melalui Depkes, organisasi masyarakat, LSM termasuk IDAI bertekad mensosialisasikan tentang pemberian makanan bergizi bagi anak, sehingga para orang tua khususnya ibu dapat memahami pemberian gizi yang baik bagi anaknya. Sedangkan, anak penederita gizi buruk karena penyakit bawaan, menjadi tugas pemerintah untuk memberikan imunisasi bagi wanita hamil serta obat anti HIV/AIDS, sehingga bayinya nanti tidak memilki penyakit bawaan. Selain itu, bayi memiliki penyakit bawaan harus disembuhkan penyakitnya, agar mereka nanti mampu menerima hisapan gizi yang baik. Sri Rezeki mengharapkan agar pemrintah dapat meniru dari negara tetangga yang berhasil menurunkan jumlah penduduk yang mengidap penyakit infeksi, melalui imunisasi, seperti di Thailand untuk penyakit HIV/AIDS dan DBD, Hongkong (flu burung dan penyakit infeksi di rumah sakit), dan Malaysia pencegahan hepatitis B. Ahli kesehatan anak FKUI/RSCM Dr Soedjatmiko, SpA mengusulkan kepada pemerintah, agar memberdayakan peran posyandu guna memeriksa kesehatan balita dan memberikan makanan tambahan bergizi dan sosialisasi pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif bagi bayi umur 0-4 bulan, sehingga bayi mendapat kekebalan tubuh yang tinggi dan terhindar gizi buruk. Sementara itu, Dr Sukman T Putra, SpA menyoroti baru ada sekitar 2.400 dokter spesialis anak di Indonesia, 25 persennya atau 600 dokter anak ada di Jakarta. Idealnya Indonesia memiliki 20.000 dokter anak sehingga dapat melayani jumlah anak balita 20 juta anak dan 70 juta anak usia 0-18 tahun. "Rasio perbandingan dokter anak dan jumlah anak yakni di Amerika yakni 42 dokter anak : 100.000 anak, di Indonesia 2 dokter anak:100.000 anak, sedang lulusan dokter anak di Indoesia per tahun hanya 150 orang, sehingga pemrintah pusat bersama pemda diharapkan ammpu menambah jumlah lulusan dokter spesialis anak guna memenuhi pemerataan dan pelayanan kesehatan anak," katanya. Dr Syamsul menlaporkan, IDAI cabang Surabaya telah siap menyelenggarakan KONIKA XIV tanggal 5-9 Juli 2008 yang akan diikuti 2000 orang lebih peserta dengan mengambil tema "Competence-Based Profesionalism in Pediatrics". Kongres tersebut diharapkan menjadi ajang tukar-menukar pengalaman dan diskusi dengan para ahli maupun diantara peserta dan akan membahas upaya menurunkan angka kematian bayi dalam mencapai MDG's pada tahun 2015. Sedangkan ACPID di Surabya, 2-5 Juli 2008 akan diikuti 1000 lebih peserta dari 23 negara Asia yang akan membahas penyakit infeksi yang berhubungan erat dengan program imunisasi. Program Imunisasi akan dibahas dan diperbaruhi guna mencegah kejadian luar biasa (KLB), seperti demam berdarah, polio, campak, influenza, flu burung serta pneumonia, TBC, HIV/AIDS pada anak, diare dan resistensi antibiotik.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008