Ini jelas-jelas menguntungkan satu pabrikan besar asing saja, dan merugikan pihak lainny
Jakarta (ANTARA) - Ketua Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi meminta kepada pemerintah untuk melindungi pekerja pabrik rokok kretek menyusul kebijakan menaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan (SKT).

"Kebijakan ini membuat pelaku usaha kecil di segmen rokok kretek mulai resah. Permintaan tersebut disampaikan menanggapi keluhan pelaku usaha industri rokok, terkait rencana Pemerintah yang akan menaikkan batasan produksi SKT golongan 2 dari dua miliar menjadi tiga miliar batang," kata Joko Wahyudi saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Wacana ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di industri rokok, namun akan menciptakan dampak sosial ekonomi yang sangat besar dan mengancam puluhan ribu buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Baca juga: GAPPRI nilai kenaikan tarif cukai rokok beratkan industri

“Bagaimana mungkin sebuah pabrikan yang memiliki modal besar dan merupakan salah satu pabrikan besar dunia ingin menaikkan batasan produksi sigaret kretek tangan golongan 2 yang tarif cukainya lebih murah? Ini jelas-jelas menguntungkan satu pabrikan besar asing saja, dan merugikan pihak lainnya,” jelasnya.

Dia mengatakan, usulan kenaikan batasan produksi SKT golongan 2 yang diajukan satu perusahaan besar asing ini akan menyebabkan 28.000 pelinting yang bekerja di pabrikan SKT golongan 1 akan kehilangan pekerjaan. Tak hanya itu, negara juga berpotensi kehilangan penerimaan cukai sekitar Rp1 triliun.

Joko menambahkan, tanpa adanya kenaikan batasan produksi SKT golongan 2, para buruh linting telah menderita lantaran penurunan pangsa pasar SKT secara tajam dari 37 persen pada 2006 menjadi 17 persen pada 2018. Bahkan, pada 2019, sejumlah pabrikan SKT golongan 1 telah mengurangi jumlah produksinya, serta meliburkan puluhan ribu pelinting selama beberapa hari.

“Maka itu, kami berharap pemerintah tidak tunduk pada usulan pabrikan besar asing, yang hanya menyengsarakan buruh linting yang sudah terpuruk,” kata Joko.

Sebelumnya, tokoh nasyarakat Yogyakarta GKR Cindrokirono menilai, sebagai warisan budaya, pemerintah harus melindungi rokok kretek. Perlindungan bisa dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sekiranya dapat berpihak kepada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.

“Para pelinting rokok sangat menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan ini demi kelangsungan keluarganya. Kami hanya bisa berharap agar Pemerintah dapat melihat dan meneliti kembali kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan sebelum menggerus habis industri sigaret kretek tangan,” kata putri Sri Sultan Hamengkubuwono X itu.

Diungkapkan oleh GKR Condrokirono, berdasarkan hasil berbagai penelitian, rokok kretek mampu menghidupi banyak orang di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya sejak akhir abad ke-18. Persebaran produksi rokok kretek dimulai dari usaha-usaha kerajinan rakyat, hingga akhirnya berkembang menjadi industri kecil, bahkan perusahaan.

“Sejak tahun 1900-an, kretek telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Yogyakarta yang diwariskan secara turun temurun dan Yogyakarta sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah kretek di Indonesia," katanya.

Lebih dari satu abad, kretek telah mewarnai kehidupan masyarakat Yogyakarta. "Jangan sampai salah satu warisan budaya kita yang sudah turun temurun ini hanya dilihat sebelah mata dan hilang,” tutup GKR Condrokirono.

Baca juga: Cukai rokok naik 23 persen, Darmin Nasution beberkan alasannya
Baca juga: Sampoerna sampaikan dua rekomendasi terkait tarif cukai

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019