Jakarta (ANTARA) - Akademisi sekaligus pegiat perempuan Yulianti mengatakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tak bertentangan dengan agama, moral dan lainnya.

"Justru pelaku kekerasan seksual lah yang seharusnya ditakuti dan bila tidak segera disahkan maka predator seksual akan bebas mencari korban-korban berikutnya," kata Yulianti melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu.

Dia mengatakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia bahkan telah membuat draft khusus untuk menjelaskan bahwa RUU P-KS tersebut tidak melawan norma agama. Sayangnya, DPR tidak mempedulikan masukan komprehensif kajian para ulama Islam tersebut.
Baca juga: Pegiat: Gagal paham RUU PKS sebabkan pengesahan jadi lambat

Dia yang juga masuk dalam Gerakan Masyarakat Sipil untuk sahkan RUU PKS mengatakan penolakan, penundaan, penghasutan atau fitnah dan penghinaan terhadap pengesahan RUU P-KS sesungguhnya telah mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di seluruh Indonesia yang menjadi bagian dari kontribusi atas terbentuknya rancangan Undang-Undang tersebut.

Tak hanya itu pengabaian terhadap klarifikasi dan penolakan melakukan dialog atas penyebaran informasi tentang RUU P-KS yang dimaknai secara negatif dan dimaknai dengan salah dan fatal, menunjukkan tidak adanya keinginan politik dan menunjukkan sebagai cara-cara politik yang menghasut kepentingan korban.

"Pengabaian dan penolakan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin mempertahankan “budaya perkosaan," dan justru melanggengkan para pelaku kejahatan seksual serta sama sekali tidak berempati pada korban," kata dia.

Tak hanya itu ditundanya pembahasan dan pengesahan menunjukkan bahwa para wakil rakyat terutama Komisi VIII (Anggota Panja) yang menolak atau diam, tidak memiliki perasaan tentang keadilan korban, mempermainkan, menganggap remeh dan bermain-main politik untuk kepentingan dirinya sendiri.
Baca juga: Aliansi Muslimat Aceh tolak rancangan undang-undang PKS

"Bangsa Indonesia justru saat ini terancam, dan dikuasai oleh orang-orang yang membela pemerkosa atau pelaku kekerasan seksual, dan menganggap enteng kekerasan seksual yang terjadi pada korban, dengan mempercayai hasutan-hasutan yang telah digiring untuk memberikan stigma buruk pada rancangan undang-undang tersebut," kata diam

Dia menilai para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pejabat negara, seharusnya menjadi pembela masyarakat yang mengalami kekerasan seksual, membuka dialog bila ada perbedaan pendapat, mengecek ulang kembali seluruh RUU yang mudah diakses, sebelum membuat pernyataan.

Dia mengatakan gerakan masyarakat meminta DPR untuk segera membahas DIM (Daftar Inventarisir Masalah) RUU dan membentuk tim perumus, guna memastikan pembahasan RUU ini dapat berakhir dengan pengesahan pada September 2019 sesuai jadwal.

DPR juga diminta untuk segera mengesahkan RUU PKS yang memastikan jaminan perlindungan korban melalui ketentuan pemidanaan pelaku, hukum acara pidana khusus penanganan kasus, perlindungan dan pemulihan hak korban.
Baca juga: Forhati tolak RUU PKS

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019