Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan DPR didesak untuk melakukan terobosan kebijakan nasionalisasi di sektor minyak dan gas bumi (migas) sebagai langkah mengatasi krisis energi dan pangan saat ini. "Intinya, industri migas nasional yang saat ini telah berumur 130 tahun harus ditangani oleh bangsa sendiri. Caranya bisa dengan nasionalisasi atau apapun namanya," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, Minggu. Kebijakan nasionalisasi, lanjut Effendi, layak dipertimbangkan apalagi jika melihat makin beratnya beban pemerintah yang terus berutang untuk menutupi defisit anggaran. Selain itu, dewasa ini muncul kecenderungan di banyak negara pemilik tambang migas untuk menguasai dan mengelola sendiri kekayaan nasionalnya. "Pengamat energi dari Amerika Serikat bahkan meramalkan, pada 2012 hampir seluruh tambang migas di dunia sudah dikelola oleh bangsanya sendiri," katanya. Gagasan nasionalisasi, sebenarnya juga sudah dilakukan oleh Ibnu Sutowo melalui PT Permina saat mengambilalih lapangan Branda pada 1957. Ketika itu, Ibnu Sutowo mencanangkan, dalam 20 tahun industri migas nasional harus ditangani oleh bangsa sendiri. Namun yang terjadi sekarang adalah suatu kemunduran, sehingga industri migas nasional saat ini justru dikuasai oleh asing. "Sekitar 80 persen produksi minyak nasional masih didominasi perusahaan migas asing. "Sebanyak 90 persen belanja sektor migas yang Rp 100 triliun per tahun, juga didominasi jasa dan barang asing," ujarnya. Atas dasar itu Effendi meyakini, nasionalisasi tidak haram dilakukan. Selain mengemban misi menyejahterakan rakyat, tindakan tersebut juga telah berlangsung di banyak negara. "Bagi Indonesia, keputusan untuk nasionalisasi kepemilikan asing merupakan pilihan yang tepat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945," katanya. Sebagai contoh, nasionalisasi ala Venezuela atas lapangan Orinoco yang dikelola ExxonMobil. Selaku kontraktor, ExxonMobil meminta harga 25 miliar dolar AS tetapi Venezuela hanya bersedia membayar 6 miliar dolar untuk lapangan Orinoco, yang memproduksi minyak 600 ribu barel per hari (bph) dengan cadangan terbukti 30 miliar barel. Venezuela juga menyelesaikan kontraknya dengan Total Prancis senilai 834 juta dolar AS, ENI Italia dibayar 700 juta dolar, Statoil Norwegia dibayar 226 juta dolar AS. Effendi mengkalkulasi, nasionalisasi model Venezuela sangat mungkin dilakukan Indonesia. Ia menghitung, Indonesia saat ini memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial yang 5,0 miliar barel. Bila cadangan terbukti dan 50 persen cadangan potensial diproduksikan, dan asumsi harga minyak 150 dolar AS per barel, maka nilainya sekitar 1.000 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut dipotong untuk investasi dan biaya produksi sebesar 25 persen per barel, maka yang dibawa asing keluar sekitar 300 miliar dolar. "Dengan dasar asumsi itu, maka bayar saja asing yang produksi totalnya saat ini sekitar 700 ribu bph itu. Untuk membayar perusahaan asing yang dinasionalisasi maka Indonesia masih berpotensi untung lebih dari 700 miliar dolar AS," katanya. Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh Rusia. Nasionalisasi di Rusia diawali dengan keputusan parlemen Duma membatasi kepemilikan asing maksimum 45 persen. Diikuti dengan negosiasi pemerintah dan menyisakan 20 persen dari 80 persen kepemilikan asing. Mengenai kekhawatiran atas iklim investasi akibat nasionalisasi di sektor migas, menurut Effendi, prioritas sekarang adalah menyelamatkan ekonomi nasional agar rakyat tidak semakin sengsara. Industri migas ke depan adalah "seller market". Artinya, dengan harga minyak yang kian melambung, bisnis eksplorasi tetap menarik, terutama bagi konsorsium perusahaan nasional.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008