Jakarta (ANTARA) - Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan menanggapi Surat Edaran (SE) No. 3865.E/Ka.BPH/2019 tentang pengendalian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu tahun 2019 yang dikeluarkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terkait penggunaan solar bersubsidi untuk truk.

Asosiasi pengusaha itu menilai kehadiran surat edaran itu telah menimbulkan gejolak di berbagai level pelaku usaha, baik di lingkup pelaku ekspor-impor maupun ke kalangan operator angkutan barang. Salah satu imbasnya adalah terhambatnya distribusi barang ke sejumlah daerah.

Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, beranggapan keluarnya surat edaran itu menimbulkan kebingungan lantaran bertentangan dengan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi Perpres No. 43 Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Pada Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.

Menurut dia, mengacu pada aturan tersebut, solar termasuk dalam bahan bakar yang mendapatkan program subsidi khusus.

"Menurut Perpres tersebut, angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam termasuk dalam golongan yang mendapatkan alokasi BBM Solar bersubsidi," katanya.

Baca juga: BPH Migas : Ada kelebihan kuota solar di 10 kota
Baca juga: Pertamina MOR VII tidak batasi penjualan solar

Penerapan aturan itu, menurut Rico, akan berdampak signifikan terhadap operasional angkutan truk secara umum, terutama yang tergolong angkutan berat.

Padahal angkutan barang golongan tersebut lazimnya dimanfaatkan untuk pengangkutan bahan baku proyek infrastruktur maupun barang-barang ekspor-impor, dua aspek pembangunan yang tengah didorong dan diprioritaskan pemerintah.

"Kebijakan ini bisa berdampak langsung kepada perekonomian nasional, tidak sebatas pada urusan transportasi barang atau alur logistik. Program konstruksi infrastruktur hingga upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor nasional. Karena itu, aturan ini belum layak diterapkan karena tidak sejalan dengan amanah Perpres yang masih berlaku," tambahnya.

Rico menyampaikan dua opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan terkait masalah tersebut. Pertama, dibuat sistem pengawasan melekat dalam pendistribusian BBM bersubsidi kepada konsumen di setiap Stasiun Pengisian Bahan bakar (SPBU) agar tepat sasaran serta tepat guna.

Langkah itu dapat menjamin pasokan bahan bakar solar bersubsidi terhadap operator angkutan umum untuk barang di seluruh wilayah Indonesia sekaligus mencegah terjadinya kelebihan alokasi kuota BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.


Baca juga: Pertamina MOR IV berkoordinasi pembatasan solar subsidi

"Opsi kedua adalah menghapus program solar bersubsidi kepada angkutan barang. Kebijakan ini disubstitusi dengan insentif fiskal atau direalokasikan dalam bentuk fasilitas kredit bagi operator angkutan darat," imbuhnya.

Rico melanjutkan, insentif fiskal bertujuan untuk mendukung peremajaan armada truk yang beroperasi mengingat kondisi truk yang beroperasi saat ini sudah tergolong tua hingga kurang adaptif terhadap penerapan teknologi informatika terbaru maupun standar kecepatan perjalanan.

Insentif pun bisa diberikan dalam bentuk pemotongan bea masuk terhadap impor truk-truk modern yang hemat bahan bakar.

Dengan demikian, harga truk-truk tersebut lebih terjangkau bagi pengusaha lokal. Realokasi subsidi BBM bisa dilakukan dalam bentuk fasilitas kredit murah untuk pengadaan truk baru dengan teknologi yang hemat BBM atau sumber energi baru.

"Penghapusan subsidi juga menjamin 'equal treatment' (perlakuan yang sama) terhadap semua pelaku usaha di sektor ini agar tidak ada yang mendapatkan keistimewaan yang berdampak pada kompetisi yang tidak sehat," pungkas Rico.

Baca juga: Surat edaran BPH Migas ancam kenaikan harga kebutuhan pokok di Sulsel

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019