Jakarta (ANTARA News) - Penangkapan sejumlah anggota dewan yang diduga terlibat tindak korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi lebih terbuka dan transparan dalam mengungkap berbagai proses yang terjadi pada pembuatan suatu undang-undang. "Untuk meningkatkan citra DPR yang telah terpuruk karena penangkapan sejumlah anggotanya, berbagai proses pembahasan UU yang ada di DPR harus lebih terbuka," kata Koordinator LSM Center for Law Information (Celi), Rahmat Bagja, ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin malam. Rahmat memaparkan, keterbukaan yang ada selama ini kerap hanya tercipta pada tahap rapat paripurna suatu RUU. Padahal, proses yang transparan itu harus sudah ada sejak tahap lobi hingga berbagai rapat pembahasan sebelum rapat paripurna. "Soalnya, kerap terjadi ada pasal yang tiba-tiba muncul di rapat paripurna padahal tidak pernah muncul dalam rapat pembahasan sebelumnya," katanya. Ia juga mendesak agar berbagai keputusan yang dihasilkan oleh DPR harus selalu berpihak kepada rakyat dan tidak menjadi semacam alat tawar-menawar dengan pemerintah. Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resources Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing berpendapat, Badan Kehormatan DPR merupakan elemen penting yang dapat digunakan anggota DPR untuk meraih kembali tingkat kepercayaan rakyat. "Karena lewat BK DPR ini anggota dewan bisa dikenakan sanksi," kata Uli. Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (30/6), menangkap salah seorang anggota DPR karena diduga menerima sejumlah uang. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono, ketika dihubungi membenarkan hal itu. Berdasar informasi, anggota DPR tersebut berinisial BR, seorang yang pernah aktif di Komisi V DPR yang membidangi perhubungan. Dia ditangkap di kawasan Plaza Senayan setelah menerima uang sebesar 60 ribu dolar AS dan 10 ribu euro. Pemberian itu diduga terkait pengadaan kapal patroli dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen perhubungan. Hingga kini, kasus ini sedang didalami, dan belum ada kejelasan tentang asal uang tersebut.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008