Kementerian Pertanian harus mengkorporasikan petani dalam memproduksi pangan untuk mewujudkan skala ekonomi pengelolaan lahan persawahan atau tanaman lain yang berlangsung secara kolektif dalam luas ribuan hektare.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Mindo Sianipar menilai bahwa kKebijakan membagi-bagikan bantuan kepada petani bukan solusi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, apalagi jumlah petani di Indonesia tidak sedikit.

“Jadi jangan hanya memberikan bantuan tanpa membangun sistem, tidak akan efektif. Pada akhirnya keberlanjutan dan kemandirian petani tidak terbangun,” kata Mindo di Jakarta, Senin.

Besarnya bantuan kepada petani dalam hal penyediaan benih, pupuk dan alat khususnya di sub sektor pangan, menurut Mindo, merupakan wujud kepedulian kepada petani.

Namun pendekatan ini tidak memenuhi spirit berkelanjutan karena belum menjadikan penyediaan pangan sebagai bisnis yang menguntungkan.

"Artinya petani belum merasakan dampak dari pertanian yang dibudidayakannya," katanya melalui keterangan tertulis.

Oleh karena itu, menurut dia, Kementerian Pertanian harus mengkorporasikan petani dalam memproduksi pangan untuk mewujudkan skala ekonomi pengelolaan lahan persawahan atau tanaman lain yang berlangsung secara kolektif dalam luas ribuan hektare.

Kemudian barulah didukung dengan sistem pengelolaan yang mengacu pada good agriculture practices (GAP) dan melibatkan penggunaan alat dan mesin.

“Demikian halnya untuk pengolahan hasil harus dilakukan melalui satu processing yang dilengkapi peralatan yang efisien serta dilakukan secara korporasi. Melalui korporasi maka biaya produksi dapat ditekan dan meningkatkan potensi margin,” ujarnya.

Di sisi suplai, menurut Mindo, pemerintah wajib memberikan subsidi harga pembelian baik tanaman pangan ataupun komoditas lainnya seperti perkebunan, hortikultura serta peternakan, sehingga petani dapat memperoleh insentif dari penjualan hasil pertaniannya

Terkait hal itu, Mindo menyatakan, perlunya menciptakan pola-pola yang dapat melibatkan perusahaan, baik milik negara ataupun swasta melalui pola inti plasma.

"Namun pola inti plasma ini difasilitasi penyediaan sarana dan pendampingan. Melalui pola ini maka bisnis pertanian menjadi menguntungkan," kata politisi asal PDI-P.

Pola inti plasma ini baik, karena menurut dia, pemberian bantuan harus dibarengi dengan pembentukan korporasi bagi petani.

Pemberian bantuan secara besar-besar kepada petani bukan hal yang buruk, lanjutnya, namun tanpa dibarengi dengan pengembangan sistem kemitraan maka pada akhirnya akan menciptakan ketergantungan petani dengan pemerintah.

Bahkan, Mindo mengakui, koperasi tani juga mendorong petani menjadi seorang investor melalui penumbuhan perusahaan yang mempekerjakan tenaga professional. Tujuannya petani dapat menangani produksi atau distribusi sarana pertanian, pemasaran produk, hingga transportasi hasil panen, dan lain-lain.

Artinya, petani tidak hanya mendapatkan kemudahan akses pasar melalui koperasi namun juga dalam penyediaan jasa lainnya dari perusahaan yang secara tidak langsung dimiliki oleh petani seperti halnya koperasi ternak di Belanda yang memiliki pabrik susu.

Secara terpisah, Menteri Pertanian periode 2000 – 2004 Bungaran Saragih mengakui model membangun ekonomi agribisnis Indonesia adalah model kemitraan (korporasi petani).

Model kemintraan secara bersama secara kreatif mencari solusi untuk lebih produktif dan efisien dipihak petani dan inti, tambahnya, bukan kemitraan yang membawa pada kemunduran tapi yang membawa kemajuan bersama-sama dan kesejahteraan bersama-sama.

“Kita mau model kemitraan yang saling mempercayai, yaitu model kemitraan yang berpikir jangka panjang,” katanya.

Namun, Bungaran mengingatkan untuk membuat kemitraan yang terpenting adanya kesadaran bahwa kemitraan harus dilakukan bersama-sama, sehingga bisa tumbuh bersama.
Baca juga: Legislator: Kedaulatan pangan harus berbasis kesejahteraan petani

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019