Terlebih lagi, bahan dasar dari produk tembakau alternatif, khususnya produk tembakau yang dipanaskan, masih berupa tembakau yang dapat dipasok oleh petani lokal.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik Adi Sastra Wijaya mengatakan bahwa industri inovasi tembakau alternatif dinilai mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga pemerintah disarankan untuk memberikan insentif.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu, ia mengatakan bahwa insentif tersebut setidaknya mampu untuk mengembangkan produk di mana teknologi dan kesehatan publik mampu ditinjau dari berbagai segi penelitian ilmiah.

“Terlebih lagi, bahan dasar dari produk tembakau alternatif, khususnya produk tembakau yang dipanaskan, masih berupa tembakau yang dapat dipasok oleh petani lokal,” kata Adi.

Adi menyarankan pemerintah bersama pihak swasta mendorong berbagai penelitian lokal berbasis ilmiah untuk memperkuat berbagai inovasi yang dapat mengurangi risiko kesehatan di masyarakat karena jumlah perokok di Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia.

Sebelumnya, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Profesor dari Lee Kuan Yew of Public Policy National University of Singapore, Tikki Pangestu dalam acara Asia Harm Reduction Forum (AHRF) Ke-3 di Seoul menjelaskan Indonesia masih menghadapi tantangan mendasar dalam pengurangan risiko kesehatan, khususnya dari rokok sebab Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok dan produsen tembakau terbesar di dunia.

Baca juga: Penerapan simplifikasi cukai tembakau bisa turunkan penerimaan negara

Menurut Tikki, paling tidak ada enam tantangan yang perlu diselesaikan terkait pengurangan risiko dari kebiasaan merokok. Pertama, kurangnya informasi kepada pemerintah terkait strategi pengurangan risiko terhadap rokok yang telah dipraktikkan oleh berbagai negara maju.

Kedua, pandangan negatif dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap produk tembakau alternatif. Ketiga, produk tembakau masih menjadi penggerak politik dan ekonomi karena cukai rokok menyumbang enam persen dari total penerimaan negara. Keempat, kekhawatiran masyarakat tentang produk tembakau alternatif yang dianggap memiliki bahaya tersendiri.

Kelima, jangkauan Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) sebagai alternatif dari rokok yang masih rendah di Asia, termasuk di Indonesia. Keenam, kurangnya penelitian terkait produk tembakau alternatif. “Perlu ada terobosan langkah sehingga upaya mengurangi risiko kesehatan dari konsumsi rokok bisa dilakukan,” katanya.
Baca juga: Dokter paru sebut rokok elektronik lebih berbahaya

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019