Langkah ini diambil sebagai upaya mempertahankan harga CPO
Jakarta (ANTARA) - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sepakat tidak melakukan pungutan ekspor sawit sampai akhir 2019, guna terus mempertahankan pasar minyak sawit mentah (CPO) di tingkat global.

Direktur BPDP-KS Herdrajat Natawijaya mengatakan langkah ini diambil sebagai upaya mempertahankan harga CPO global, yang dampaknya secara langsung akan dirasakan petani kelapa sawit nasional, apalagi harga CPO global masih tercatat berfluktuatif.

"Kita percaya begitu dikenakan pungutan 50 persen tersebut harga akan turun. Artinya para petani atau produsen kelapa sawit akan menerima harga lebih rendah lagi," katanya dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Pemerintah terbitkan aturan baru pembebasan tarif pungutan BPDP kelapa sawit

Dalam diskusi bertema "Petani Butuh Keberlanjutan Harga CPO Naik" yang diselenggarakan media InfoSAWIT itu, Herdrajat mengatakan, pihaknya telah melaporkan keputusan tersebut kepada Presiden.

"Pungutan baru akan diberlakukan apabila ada kepastian harga akan naik. Kemungkinan besar pemberlakuan pungutan yang paling tepat yaitu ketika B30 akan efektif berjalan pada 1 Januari 2020," katanya.

Pada saat itu akan terjadi kenaikan penggunaan CPO, karena volume penggunaan CPO untuk B30 akan bertambah sekitar tiga juta ton dibandingkan saat digunakan sebagai B20.

Baca juga: Apkasindo harapkan alokasi dana sawit untuk petani meningkat

Guntur Cahyo Prabowo dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengungkapkan, pihaknya mencoba untuk menyinergikan pengembangan praktik minyak sawit berkelanjutan di tingkat petani dengan pelaku usaha.

Hal itu, lanjutnya, bakal bisa membantu petani dalam memangkas rantai pasok perdagangan tandan buah segar (TBS) sawit, sehingga pembelian harga tingkat petani tidak dilakukan pihak ketiga (perantara), lantaran cara demikian berdampak pada terpangkasnya harga.

Sebab itu dengan menerapkan skim berkelanjutan, petani bisa memiliki kesempatan untuk akses informasi dan penjualan langsung ke pabrik kelapa sawit.

Kendati sertifikasi mungkin bukan satu-satunya jawaban atas masalah tersebut, namun sertifikasi minyak sawit berkelanjutan itu dapat dijadikan salah satu alternatif guna membuka akses untuk petani sawit swadaya. Terutama akses terhadap kemitraan pengolahan TBS bersertifikat yang dihasilkan oleh petani swadaya.

"Selain akses pasar, peluang dukungan peningkatan kapasitas dari pabrik dan pula pihak lain seperti pemerintah juga terbuka cukup lebar," katanya.

Tercatat hingga saat ini sudah ada sekitar 30 kelompok petani swadaya bersertifikat RSPO. Namun jika dibandingkan dengan jumlah total luas lahan yang dikelola oleh petani swadaya di Indonesia, maka pencapaian ini jauh.

Untuk itu, sangat penting dilakukan mengakselerasi implementasi standar minyak sawit berkelanjutan. Sekadar catatan sampai saat ini sebanyak 20 persen dari total pasokan minyak sawit di dunia sudah tersertifikat minyak sawit berkelanjutan versi RSPO.

Sebanyak 55 persen berasal dari minyak sawit berkelanjutan asal Indonesia. Sementara untuk jumlah petani sawit swadaya dan plasma yang tersertifikat mencapai 0,15 persen dari total minyak sawit berkelanjutan, dengan banyaknya petani sawit swadaya sejumlah 3.371, dan petani plasma 117.673.

Menurut Guntur, masalah masih lambatnya penerimaan sertifikat minyak sawit berkelanjutan untuk petani lantaran masih terkait dengan biaya yang mesti dipenuhi untuk memenuhi proses sertifikasi dan oleh karena itu itu butuh pihak ketiga supaya bisa berjalan.

Belum tersentuh
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto mencatat, pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum tersentuh pemerintah, padahal jumlah petani sawit swadaya di Indonesia cukup banyak.

Darto mengakui, sampai saat ini kemunculan kebijakan yang berpotensi bisa membantu pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum maksimal, seperti Inpres No 8 Tahun 2018.

Dampaknya, petani sawit masih saja memperoleh produktivitas rendah akibat kesulitan mengakses pupuk, sarana dan  prasarana yang buruk dan mayoritas petani masih menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang sangat murah.

Kepala Sekretariat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Azis Hidayat mengatakan penerapan skim ISPO di tingkat pelaku kelapa sawit baik pelaku usaha, pemerintah dan petani terus meningkat.

Kondisi ini tentu saja berdampak pada citra kelapa sawit Indonesia di pasar global, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada menguatnya harga.

Apalagi penerapan skim ISPO merupakan skim mandatori yang harus dipatuhi seluruh pelaku perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak terkecuali petani.

Sampai Agustus 2019 sertifikat ISPO yang telah terbit sebanyak 566 (556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma) dengan luas total areal 5.185.544 ha, tanaman menghasilkan seluas 2.961.293 ha, total produksi TBS 56.650.844 ton/tahun dan CPO 12.260.641 ton/tahun.

Baca juga: Industri nasional komitmen bangun perkebunan sawit berkelanjutan
Baca juga: BPDP-KS dorong peningkatan produktivitas sawit rakyat

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019