Pemerintah sebaiknya mempersiapkan prosedur laporan yang semudah dan seefisien mungkin agar tidak memberatkan para petani.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menginginkan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang baru saja disahkan tidak  sampai menyusahkan atau membatasi ruang gerak petani kecil.

Ia mengemukakan bahwa indikasi pembatasan ruang gerak petani ini nampak dari beberapa pasal seperti pasal 27 ayat (3) dan pasal 29 ayat (3). Pasal 27 ayat (3) menimbulkan kontroversi karena menyebutkan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik harus melaporkan ke pemerintah.

Menanggapi hal ini, menurut Galuh di Jakarta, Kamis, seharusnya pemerintah dapat menjadi pihak yang lebih proaktif dan bertanggung jawab untuk mengumpulkan data dari petani.

"Untuk menyiasati hal ini, pemerintah sebaiknya mempersiapkan prosedur laporan yang semudah dan seefisien mungkin agar tidak memberatkan para petani. Jangan sampai pasal ini justru menghambat petani untuk terus berusaha menyediakan mengembangkan benih secara mandiri. Petani seharusnya diberikan mekanisme pelaporan yang mudah sehingga mereka mau membantu secara sukarela," jelasnya.

Ia juga menyoroti pasal 29 ayat (3) yang menerangkan bahwa varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu wilayah kota/kabupaten.

Hal tersebut, lanjutnya, dinilai sangat membatasi ruang gerak petani dan tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman. Putusan MK justru memperbolehkan petani kecil mengedarkan varietas hasil pemuliaannya tanpa ada wilayah yang membatasi.

Galuh menegaskan, kegiatan pemasaran ke wilayah lain oleh petani, walaupun itu lewat petani kecil, merupakan kesempatan yang baik untuk memperkaya plasma nutfah dan benih-benih lokal di Indonesia.

Baca juga: Pemerintah telah dan siap menyerahkan redistribusi lahan SK TORA

Menurut dia, di luar dari kedua pasal yang kontroversi ini, beberapa pasal di UU ini kali ini juga sudah ditambahkan dan dapat mengakomodir keterlibatan sektor swasta untuk juga dapat mengimpor benih dari luar negeri untuk tujuan pemuliaan, walaupun tetap saja ini dibatasi hanya jika benih yang dibutuhkan tidak tersedia dalam negeri.

"Keterlibatan sektor swasta untuk dapat bekerja sama dengan petani dapat membantu petani melebarkan usahanya dan juga berpotensi menghasilkan benih yang lebih banyak dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. UU yang ada sudah seharusnya mengakomodir kebutuhan semua pihak, terutama petani sebagai produsen utama," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam sosialisasi UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang digelar di Jakarta, Rabu (25/9), menyatakan bahwa berbagai regulasi tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah berpihak kepada petani kecil.

Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilihat dari pemerintah yang wajib meringankan beban petani kecil bila budidaya yang mereka lakukan mengalami gagal panen yang tidak ditanggung oleh asuransi pertanian.

Para petani kecil, dengan UU baru tersebut, juga bisa mendapatkan sarana budidaya pertanian untuk petani kecil seperti untuk berbagai program pengentasan kemiskinan, kedaulatan pangan, hingga subsidi pupuk.

Kementerian Pertanian juga menilai bahwa peraturan perundang-undangan tersebut bakal mendorong inovasi di tingkat petani sehingga bisa menghasilkan berbagai varietas baru yang lebih baik.
Baca juga: Menko Darmin: Lahan 84.000 hektare milik petani sawit siap diremajakan
 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019