Jakarta (ANTARA) - Pekan ini, membaca berita yang membuat hati saya gaduh. Betapa tidak, bangsa yang dimerdekakan dengan kucuran keringat dan tumpahan darah para pejuang dan para pendiri bangsa, yang dirajut dalam ikatan Pancasila sebagai Ideologi negara, ternyata hari ini terusik.

Beberapa hari belakangan ini banyak gelombang protes dari mahasiswa dan pelajar serta berbagai entitas kelompok masyarakat lainnya menuntut berbagai hal terkait isu Pengesahan Undang-Undang KPK, RKUHP dan isu lainnya.

Gelombang protes itu telah menelan korban jiwa. Di tempat lain di Wemena juga terjadi gelombang protes yang merupakan kelanjutan dari beberapa gelombang protes sebelumnya yang sebenarnya gerakan ini sudah berlangsung lama, dimulai dari keinginan untuk mengibarkan bendera bintang Kejora, Pemberian Otonomi Khusus sampai pada keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, Negara Papua Merdeka.

Langkah-langkah penegakan hukum telah diambil dan bahkan langkah politis pun sudah dilakukan. Kalangan politisi, para iintelektual, para ulama dan tokoh-tokoh agama sudah dikumpulkan di Istanan Negara untuk urun rembuk guna mencari pemecahan untuk mengobati "tubuh negara" yang sedang "terluka".

Di luar sana para "penjaga Negara" telah melakukan pengamanan ketat agar "virus" yang menyerang tubuh yang sedang sakit ini tidak sampai masuk ke tulang persendian Negara.

Meskipun tidak mencekam seperti peristiwa 1998, tetapi korban anak bangsa yang gugur sia-sia di tangan anak bangsa sendiri telah melebihi jumlah korban tahun 1998. Apa sebenarnya yang telah terjadi di negeri ini? Benarkah bangsa ini sedang terluka? Lantas jika demikian, "vaksin" apa yang perlu disuntikkan untuk mengobati luka ini?

Tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk berbagi pemikiran, betapa memelihara keutuhan bangsa dan menyelamatkan negeri ini dari perpecahan dan penderitaan serta menghindari jatuhnya korban jiwa yang sia-sia adalah sebuah tugas yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Pengalaman Sejarah

Sebuah diagnosa awal yang saya amati dari berbagai fenomena yang berkembang belakangan ini adalah bahwa bangsa ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Bangsa ini sedang sakit. Penyakit yang diderita oleh bangsa ini adalah disebabkan karena praktik "ketidakadilan" yang melanda di segenap lapisan kehidupan masyarakat. Akibatnya suasana kehidupan kerap kali dirasakan menjadi tidak pasti.

Kegiatan bisnis yang memerlukan investasi tak dapat diperkirakan (unpredictable) walau pun telah menghabiskan banyak waktu dan biaya akibat aturan yang berbelit-belit tak sinkron antara peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Kegiatan bisnis kerap kali tidak bisa diperhitungjkan dapat memberi keuntungan atau justeru harus gulung tikar sebelum waktunya.

Para lulusan universitas juga hidup dalam sebuah ketidakpastian, apakah mereka dapat diterima bekerja atau dapat menjadi wirausaha yang mandiri? Lulusan perguruan tinggi tak lagi dapat diandalkan untuk menciptakan peluang lapangan kerja baru yang dapat menyerap investasi dan tenaga kerja.

Akibatnya satu orang kepala keluarga dituntut untuk dapat menghidupi 8 sampai 12 orang dalam keluarganya.

Rakyat yang menyandang predikat "pengangguran" jumlahnya setiap tahun mengalami peningkatan. Itu sebabnya janji-janji politik yang disertai dengan money politics kerap kali dapat dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pemilihan, baik di tingkat legislatif mau pun di tingkat eksekutif.

Saya mewawancarai lebih dari 60 orang para tim sukses yang terlibat dalam pemenangan anggota legislatif yang menang pemilu di berbagai daerah tingkat II (kabupaten/kota) dan tim sukses 6 Kepala Daerah pemenang pemilu. Semuanya mengatakan "perlu uang" yang tidak sedikit untuk mengantarkan mereka ke kursi kekuasannya.

Sahabat saya yang lain mengatakan, saya tak dapat menjadi anggota legislatif karena kekurangan modal. Keluarga saya pada malam hari menjelang pemilihan esok hari, dibanjiri amplop yang berisi uang disertai foto calon legislatif, tak tahu siapa yang mengantarkan uang itu, tetapi dimasukkan dari celah pintu rumah. Instrumen hukum yang ada seakan tak mampu mengatasi hal ini.

Manakala para legislatif dan eksekutif itu menduduki singgasana jabatannya lalu lupa akan janjinya, riak-riak pun muncul. Kalau riak itu kecil lalu bisa dipadamkan, maka selamatlah institusi itu dari gelombang pasang.

Tapi apabila riak itu dibiarkan terus menyeruak ke segala lini, maka gelombang pasang besar seperti tsunami tak terhindarkan lagi. Lihatlah peristiwa keruntuihan rezim Soekarno (diawali dari Gerakan G30S PKI), keruntuhan Rezim Soeharto (diawali dari krisis ekonomi) dan juga kejatuhan Gus Dur (diawali dari Bullogate dan Bruneigate).

Agaknya pengalaman sejarah ini perlu menjadi cermin bagi siapa pun yang sedang diberi amanah atau akan menerima amanah dalam berbagai jabatan negara.

Faktor Ketidakadilan

Sejarah keruntuhan bangsa-bangsa di dunia dan jatuhnya berbagai permimpin dunia bukan disebabkan karena tingginya angka pengangguran, lambannya pergerakan partumbuhan ekonomi atau karena rendahnya tingkat skills atau keahlian rakyatnya.

Sejarah mencatat jatuhnya Dinasti Osmania itu disebabkan karena rezim yang berkuasa saat itu mulai bersikap tidak adil, diawali dari sikap ketidakadilan Sultan Abdul Azis bergelar Murad IV terhadap dirinya sendiri, kemudian menyusul ketidakadilan di lingkungan istana dan merebak ke lingkungan wilayah kerajaan.

Sultan yang hidup berfoya-foya, bermewah-mewah, utang luar negeri semakin menumpuk dan di luar sana rakyat mulai kesulitan untuk mendapat makanan dan aturan-aturan yang dikeluarkan serta praktik-praktik kehidupan mulai meninggalkan pesan-pesan Al Quran, dan semua itu berdampak pada munculnya gelombang protes dan tentu saja didukung oleh pihak-pihak yang ingin mengambil kekuasaan dan akhirnya ia terbunuh oleh lawan politiknya.

Penerusnya Sultan Abdul Hamid II tak mampu meneruskan kekuasaan yang diwariskan kepadanya dalam keadaan carut marut, korupsi merajalela, birokrasi lumpuh, campur tangan asing mulai masuk, akhirnya dinasti yang telah berdiri tegak selama lebih 6 abad (625 tahun) itu harus tumbang.

Itulah sebabnya perintah untuk berbuat adil itu setiap "Jum’at" diingatkan khatib dalam khutbahnya, karena sikap untuk berbuat adil itu mengalami fluktuasi dalam keimanan manusia. Sampai-sampai Al Quran menempatkan kata "Adil" itu menjadi kata terbanyak ketiga dalam Al Quran setelah kata "Tuhan" dalam berbagai sebutan dan kata "ilmu".

Sebagai pemangku jabatan dalam sistem kekuasaan, seorang yang diberi amanah kerap kali lalai dalam perilakunya apakah ia sedang berbuat adil atau tidak. Yang dapat memahami ia berbuat adil atau tidak adalah orang yang terkena dampak dari kekuasaannya itu.

Seorang yang menjadi imam shalat Subuh diharuskan untuk membaca ayat-ayat panjang untuk memberi kesempatan kepada jamaah yang datang terlambat, karena waktu subuh adalah waktu istirahat yang paling nyaman. Tetapi itu bukan berarti Imam yang membaca surat pendek adalah imam yang berbuat "tidak adil", akan tetapi banyaklah orang yang tidak dapat kesempatan untuk mendapat pahala shalat Subuh berjamaah.

Jadi tidak terjadi distribusi kebaikan yang merata, sehingga jamaah beranggapan seolah-olah sang imam saja yang ingin mendapatkan surga.

Meskipun perumpamaan ini tidak tepat benar, tetapi premis ini menjelaskan betapa perbuatan adil itu menghendaki suatu tindakan yang menghindari diskriminasi terhadap kesempatan orang-orang untuk mendapatkan kenikmatan, peluang, dan kebaikan-kebaikan lainnya, baik perbuatan yang secara terang-benderang dilarang oleh hukum dan peraturan mau pun yang tidak dilarang atau tidak termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum.

Misalnya, tidak ada larangan hukum untuk membawa hasil tambang emas dari bumi Papua yang merupakan sebahagian saham PT.Freeport untuk mendukung perekonomian Indonesia, atau membawa hasil-hasil perkebunan yang dikeloia BUMN PT.

Perkebunan (Persero) dari Sumatera Utara, tetapi di sana ada persoalan keadilan bagi rakyat tempat di mana hasil tambang dan hasil bumi itu berasal. Sudahkan ada kesejahteraan yang sama yang kita berikan pada masyarakat di sekitar tempat produksi barang-barang itu berasal?

Negara dan pemerintah yang diberi amanah oleh rakyat sekarang ini harus menghilangkan kekhawatiran rakyat bahwa ke depan negeri ini akan dikuasai oleh mereka-mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan atau dikuasasi oleh mereka-mereka yang diberi kekuasaan.

Fenomena perilaku korupsi kalangan penguasa mulai kalangan eksekutif dari Kepala Daerah sampai Menteri hingga kalangan Legislatif dan Yudikatif yang terjerat Kasus Korupsi telah membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap penguasa dan siapa pun yang berhubungan dengan kekuasaan.

Itulah sebabnya setiap ada upaya mengutak-atik Undang-Undang KPK dipandang sebagai pelemahan KPK, walau pun hal itu belum terang benderang demikian. Tapi kecurigaan dan prasangka-prasangka negatif dan stigma minor lainnya selalu dilekatkan. Ini adalah "penyakit serius" yang perlu dicarikan "vaksinnya".

Obatnya tak cukup dengan retorika politik. Harus ada aksi yang konkrit yang dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat. Terlalu mahal "harga" yang akan kita bayar, jika pemerintah gagal mengatasi situasi ini.

Bangsa ini adalah bangsa yang begitu mudah untuk diajak kompromi. Bangsa yang selalu santun untuk mengikuti petuah-petuah para guru, cerdik pandai, tokoh agama dan tokoh pemuda, tokoh mahasiswa dan tokoh masyarakat.

Langkah yang diambil Presiden Jokowi minggu lalu untuk mengundang para tokoh-tokoh nasional sudah tepat, akan tetapi mereka yang hadir belumlah merupakan representatif dari mereka-mereka yang sedang merasakan "ketidakadilan" di negeri ini.

Harus dibuat rembuk nasional yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang lebih luas tidak hanya didominasi atau terbatas dari kalangan Tokoh-Tokoh Jakarta.

Mereka-mereka yang tinggal di daerah banyak yang cerdas yang bisa diajak dan memberikan sumbangsih pemikiran untuk menyelesaikan masalah ini dengan "hati".

Selama ini tokoh-tokoh yang mewakili etnik selalu diabaikan. Pada hal di negeri ini orang boleh berpindah-pindah pilihan Partai Politik dan bahkan boleh berpindah agama, tetapi orang tak bisa berpindah etnik. Oleh karena itu tokoh-tokoh Etnik, Kepala Masyarakat Adat, Sultan, Raja-raja perlu dilibatkan.

Mengapa harus mengundang tokoh-tokoh etnik? Fenomena yang berkembang hari ini terlihat bahwa sebenarnya persoalan kebangsaan di negeri ini masih belum selesai dan Tokoh Etnik masih diterima oleh kaulanya sebagai figur yang mendapat tempat dihati mereka.

Persoalan Kesatuan dan Persatuan bangsa masih harus dipelajari lagi guna menemukan perekat yang lebih bisa diterima semua kalangan dan sebagai prasyaratnya adalah perilaku adil dari mereka yang diberi amanah.

*) OK Saidin adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Copyright © ANTARA 2019