Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Bataona mengatakan, tuntutan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu hasil revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh mengabaikan prosedur dalam negara hukum.

"Soal protes mahasiswa terkait revisi UU KPK, saya kira hal paling penting adalah mematuhi prosedur-prosedur dalam negara hukum," kata Mikhael Bataona di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin.

Dia mengemukakan pandangan itu terkait tuntutan kepada Presiden Joko Widodo agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

Menurut dia, hal paling penting adalah mematuhi prosedur-prosedur dalam negara hukum yang demokratis bahwa jalur hukum melalui judicial review ke MK adalah jalur konstitusional.

"Ketika jalur konstitusional ini diabaikan, maka kita sedang mempertontonkan cara-cara yang katanya demokratis padahal anti demokrasi," katanya.

Baca juga: Menristekdikti katakan tak bisa lindungi mahasiswa di luar kampus
Baca juga: Demo mahasiwa, 20.500 personel keamanan gabungan dikerahkan


Dengan kata lain, menggunakan demokrasi untuk mengkhianati demokrasi itu sendiri, kata Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.

Dia menambahkan, publik bisa melihat bahwa tren menggunakan gerakan massa untuk menekan pemerintah adalah sebuah model sabotase bergaya hukum rimba terhadap prosedur-prosedur dalam negara hukum yang demokratis.

"Artinya, jika semua hal harus diselesaikan dengan cara-cara gerakan massa seperti itu, lalu apa gunanya ada kanal-kanal komunikasi politik dan untuk apa ada lembaga-lembaga dalam negara?," katanya.

"Jadi ketika semua hal harus ditempuh dengan demonstrasi, maka pesan yang muncul di sana adalah negara ini sedang diarahkan untuk mempraktikkan saja hukum rimba," katanya.

Dalam hukum rimba, siapa kuat dan siapa yang jumlahnya banyak mereka yang akan menang. "Jumlah kepala menjadi ukuran. Bukan isi kepala," katanya.

"Bukankah ini sebuah bentuk tirani mayoritas? Mahasiswa harus dididik untuk membiasakan diri berdebat dan berdiskusi baru menyuarakan apa yang mereka pandang salah," katanya.

Baca juga: Antisipasi demo ricuh, SMAN 24 Jakarta pulangkan siswa lebih awal
Baca juga: Persiapan demo, pedagang kaki lima sudah menunggu di depan DPR


Selain itu mahasiswa juga harus paham akan pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi dalam sebuah negara hukum.

"Mahasiswa, kata dia, pasti sudah membaca teori kontrak sosial yang sudah dipakai sebagai dasar bagi semua teori negara moderen, bahwa sejak kita menjadi warga negara, sebagian kebebasan kita sudah kita ikhlaskan atau serahkan kepada negara," katanya.

Sebagian kebebasan diatur dan dikendalikan oleh hukum dalam negara, termasuk di dalamnya adalah negara punya hak monopoli atas kekerasan, karena setiap warga negara ingin hidup damai sebagai warga negara karena semua tindakan mereka diatur oleh hukum.

"Jadi protes dengan lebih dahulu mendiskusikan secara ketat apa yang mau kita perjuangkan akan membuat pemahaman kita lebih benar saat berjuang di jalanan," katanya.
 

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019