Jakarta (ANTARA) - Kemarin, pada 2 Oktober 2019, telah kita saksikan bersama pelantikan 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI hasil Pemilihan Umum 2019.

Dalam momen itu pula, untuk pertama kalinya dalam sejarah parlemen Indonesia, lembaga legislatif ini menempatkan seorang perempuan di posisi pimpinan DPR RI. Puan Maharani dari PDI-Perjuangan terpilih sebagai Ketua DPR RI masa bakti 2019-2024.

Ini adalah sebuah langkah politik bersejarah. Keputusan besar yang perlu diapresiasi terlepas bagaimana mekanisme pemilihan tersebut. Apakah benar yang dilihat adalah pentingnya memberi kesempatan pada perempuan untuk memimpin lembaga perwakilan atau sekedar memberi ruang semu sebagai bagian dari tawar menawar politik pragmatis. 

Setidaknya posisi ketua DPR yang kini diisi perempuan membuka peluang untuk mengubah wajah institusional DPR yang selama ini terkesan kurang mewakili kepentingan pemilih perempuan dalam hal agenda setting kebijakan.

Lantas, bagaimana wajah representasi perempuan di DPR RI pada periode kali ini?

Data Cakra Wikara pada bulan Agustus 2019 menunjukkan bahwa dari 575 kursi DPR RI, sebanyak 457 kursi (79,48%) diraih pria dan 118 kursi (20,52%) direbut oleh perempuan. Angka ini merupakan capaian tertinggi representasi perempuan sejak pemilu pertama tahun 1955 dilaksanakan.

Sebaran perolehan jumlah kursi perempuan DPR RI 2019 berdasarkan partai politik antara lain: PDI P 26 kursi , Golkar dan Nasdem 19 kursi, PKB dan Gerindra 12 kursi, Demokrat 10 kursi, PKS 8 kursi, PAN 7 kursi dan PPP 5 kursi.

Rata-rata perolehan kursi DPR oleh perempuan dari partai-partai tersebut mengalami peningkatan. Berdasarkan data Puskapol UI, pada 2014 PDI P memperoleh 21 kursi perempuan. Golkar 16 kursi, Gerindra 11 kursi, Nasdem 4 kursi, PPP 10 kursi, PKB 10 kursi, PKS 1 kursi, PAN 9 kursi. Adapun partai yang perolehan kursi perempuannya menurun adalah Demokrat. Pada 2014 ada 13 kursi perempuan dari partai ini, tetapi pada 2019 terjadi penurunan 3 kursi.

Dari data di atas, kita bisa cermati bahwa partai politik telah melakukan upaya (meski masih sedikit) untuk mendorong keterwakilan politik perempuan di parlemen. Namun, bukan berarti pencapaian tersebut final, karena meski tingkat representasi perempuan naik, jumlahnya tetap belum mencapai 30% dari total jumlah DPR terpilih.

Apabila data keterpilihan perempuan di tiap partai tadi hanya dipandang sebagai statistik maka akan banyak pihak yang merasa sudah puas dengan pencapaian legislatif tahun ini. Padahal, tetap perlu dikritisi bagaimana partai-partai tersebut melakukan rekruitmen dan kaderisasi agar SDM perempuan dari partai politik memiliki kualitas legislasi yang baik sehingga memahami apa saja regulasi yang harus diperjuangkan demi pengakuan kesetaraan hak antara warga negara perempuan dan laki-laki. D

Dengan jumlah kursi di DPR RI yang berimbang antara kursi laki-laki dan perempuan, upaya pengarusutamaan gender dalam tiap kerangka kebijakan legislasi parlemen seperti RUU niscaya bisa terjadi. Sehingga, setiap kebijakan memiliki perspektif gender yang lebih adil dan komprehensif.

Mengapa representasi perempuan dan kebijakan berperspektif gender menjadi penting? Perempuan di seluruh dunia pada setiap tingkat sosiopolitik merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari pembuatan keputusan. Arena permainan politik pada umumnya punya karakter atau ciri khusus: ada ketimpangan yang tidak kondusif atas komposisi perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat kebijakan.

Apabila laki-laki mendominasi arena politik maka wajah institusionalnya pasti mewujud dalam sistem yang patriarki. Laki-laki memformulasi aturan-aturan permainan politik sehingga laki-laki jugalah yang mendefinisikan standar untuk evaluasi. Selanjutnya kehidupan politik diorganisir sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai maskulinitas. 

Nadezhda Shvedova pernah memberi contoh, model politik sejak dulu didasarkan pada ide tentang "menang dan kalah", kompetisi dan konfrontasi, dan lebih sedikit yang berbicara soal saling hormat, kolaborasi dan penciptaan konsensus.

Lingkungan ini berbeda pada perempuan, baik karena hakikatnya maupun pengalamannya. Perbedaan-perbedaan di antara laki-laki dan perempuan juga muncul berkenaan dengan isi dan prioritas pembuatan keputusan, yang ditentukan oleh kepentingan, latar belakang, dan pola-pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan cenderung memberi prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan dan keluarga seperti jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, reproduksi dan isu anak-anak.

Pola kerja yang didominasi laki-laki selanjutnya direfleksikan dalam jadwal kerja anggota parlemen, yang sering dicirikan oleh lemahnya struktur yang mendukung para ibu bekerja pada umumnya, dan bagi perempuan yang terjun menjadi anggota parlemen atau eksekutif pada khususnya.

Jika ingin melihat contoh dari negara lain yang berhasil membentuk lembaga legislatif dengan semangat gender-mainstreaming, Swedia bisa dijadikan refleksi atau target kelembagaan ke depan. Aspek paling penting dari parlemen Swedia adalah bukan karena memiliki tingkat representasi perempuan hingga 45%, tetapi mayoritas perempuan dan laki-laki membawa pengalaman sosial mereka ke dalam urusan-urusan di parlemen. 

Laki-laki di sana memiliki pengalaman-pengalaman tentang isu kehidupan nyata seperti membesarkan anak, mengurus rumah tangga, dan memikirkan aspek keluarga bersama. Tidak ada dikotomi privat dan publik. Perannya sama dan setara. Sehingga, para anggota dewan di sana lebih kolaboratif dalam menyusun agenda kebijakan karena memiliki perspektif yang luas, pemahaman lebih besar juga lebih dalam. Ruang untuk sekadar berbicara hanya dalam aspek normatif di permukaan demi pencitraan menjadi lebih sempit karena segalanya didasari pada pengalaman empiris.

Peran perempuan dalam pembangunan demokrasi di Indonesia tidak boleh dipinggirkan. Mulai dari yang sifatnya prosedural hingga substansial, perempuan telah turut serta membentuk wajah demokrasi negeri ini sejak semula. Perempuan kerap memainkan peran penting dalam kampanye dan memobilisasi dukungan terhadap partainya.

Sudah saatnya perempuan diberikan kepercayaan dan kewenangan di DPR. Para perempuan yang mendapat mandat juga perlu menyadari apa peran dan perjuangan yang harus dijalani sebagai wakil para perempuan lain.

Posisi ketua DPR adalah posisi strategis. Nilai strategis pimpinan di antaranya  penentuan agenda sidang, mengatur jalannya rapat, berkontribusi langsung pada keputusan-keputusan strategis dalam penyelenggaraan rapat-rapat seperti misalnya undangan RDP, RDPU, Raker, dan rapat-rapat lainnya yang dapat mendorong pasal-pasal atau substansi tertentu.

Pada DPR 2014-2019, tidak ada perempuan menjadi ketua komisi. Hanya satu perempuan yang menjadi ketua AKD, namun tidak ada perempuan dalam unsur pimpinan badan legislasi. Profil yang demikian kiranya harus menjadi perhatian partai politik untuk mau menempatkan perempuan di DPR RI pada posisi-posisi strategis agar perspektif mereka memiliki dampak terhadap kebijakan.

DPR RI 2014-2019 telah telanjur dikenang publik sebagai DPR yang penuh problem. Mulai dari sejak pelantikan (munculnya UU MD3) hingga menuju akhir masa jabatan (7 RUU bermasalah, termasuk RUU Pencegahan Kekerasan Seksual yang amat penting bagi jaminan keselamatan dan penghargaan perempuan di ruang publik). 

Kini mampukah DPR RI 2019-2024 yang dipimpin Ketua DPR RI perempuan dengan jumlah representasi legislatif perempuan yang tertinggi sejak pemilu 1955 mengawal dengan konsisten agenda-agenda yang pro perempuan lahir batin, lintas kelas, dan lintas agama dan budaya? Mari kita kawal dan awasi bersama.

*) Arum Basuki adalah Direktur Riset Indopolling Network

Copyright © ANTARA 2019