Wilayah paling tinggi kemaraunya yakni Rawa Badak di Jakarta utara yakni 136 hari tanpa hujan.
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, mencatat terdapat 10 wilayah di DKI Jakarta yang mengalami kemarau ekstrim atau lebih dari 100 hari tanpa hujan (HTH).

Kasubid Analisis Informasi Iklim BMKG Pusat, Adi Ripaldi, saat dihubungi Antara, Jumat, mengatakan 10 kecamatan itu tersebar di lima kota administrasi DKI Jakarta.

"Untuk wilayah DKI Jakarta, yang sudah masuk kategori ekstrim atau lebih dari 60 hari tanpa hujan ada di kecamatan seperti Istana, Angke, Kebangan Utara, Cideng, Pulogadung, Kamayoran, Rawa Badak," kata Adi.

Ia mengatakan wilayah-wilayah tersebut mengalami hari tanpa hujan lebih dari 100 hari. Wilayah paling tinggi HTH yakni Rawa Badak di Jakarta utara yakni 136 hari tanpa hujan.

Lalu di Sunter Kodama yakni 114 HTH, Stamar Tanjung Priok juga 114 HTH. Selanjutnya di Jakarta Timur hanya satu wilayah yakni Pulodagung 114 HTH. Di Jakarta Selatan juga terjadi di satu wilayah yakni Setia Budi Timur 114 HTH.

Berikutnya di Jakarta Barat ada Kembangan Utara sudah 113 HTH. Daerah terbanyak ada di wilayah Jakarta Pusat seperti Angke Hulu 107 HTH, Istana 113 HTH, Karet P 107 HTH dan Slamet Kemayoran 114 HTH.

Baca juga: Anies minta warga bersiap hadapi kemarau panjang dengan hemat air

Baca juga: Pasokan air Jakarta masih aman meski kemarau panjang

Baca juga: PAM siapkan mobil tangki darurat antisipasi puncak kemarau


Dua wilayah yakni Tomang Barat di Jakarta Barat sudah 87 hari tanpa hujan dan Pompa Cideng di Jakarta Pusat.

Adi mengatakan BMKG memiliki 6.000 alat penakar hujan yang tersebar di 60 titik di wilayah DKI Jakarta, berfungsi mengamati hujan untuk mengukur HTH setiap harinya di tiap kecamatan.

Ia menjelaskan, HTH 21-30 hari masuk kriteria HTH panjang, sedangkan HTH lebih dari 60 hari termasuk kategori ekstrim.

Kondisi ini lanjut Adi, tidak se ekstrim musim kemarau tahun 2015 yang juga memiliki HTH mencapai 100 hari. Pada tahun 2015 musim kemarau di pengaruhi oleh Elnino kuat, sedangkan tahun 2019 ada pengaruh Elnino lemah.

"Tapi kemarau 2019 lebih kering jika dibandingkan dengan kemarau 2018," kata Adi.

Adi menambahkan, BMKG telah mengeluarkan informasi peringatan dini adanya kemarau ekstrim berdasarkan jumlah hari tanpa hujan di sejumlah wilayah, termasuk wilayah-wilayah yang disebutkan tadi.

"Kami menyebutnya peringatan dini kekeringan meteorologis," katanya.

Ia mengatakan kekeringan meteorologi ini akan berdampak bagi wilayah yang mengandalkan sumber air dari air hujan, tidak berlaku untuk wilayah yang sumber air dipasok oleh perusahaan air minum.

Jika terjadi kemarau ekstrim di wilayah yang punya irigasi juga tidak menjadi persoalan, tetapi jika warga yang sehari-hari mengandalkan sumber air dari sumur tanah, ketersediaan airnya tergantung dari air hujan maka akan terdampak.

"Untuk wilayah DKI yang punya air pam belum jadi masalah, tapi yang mengandalkan air sumur pasti bermasalah, karena untuk penambahan air bergantung hujan, seperti di wilayah Rorotan dan Rawa Badak sudah ada warga yang kesulitan air," kata Adi.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019