Jakarta (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial memandang salah satu agenda reformasi TNI pada tahun 1998 adalah membatasi ruang keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri, namun dalam kenyataannya saat ini kehadiran militer semakin meluas di ranah sipil.

"TNI sebagai aktor pertahanan negara difokuskan guna menghadapi ancaman militer dari luar sebagaimana telah diatur dalam UU Pertahanan dan UU TNI," kata Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, saat jumpa pers terkait Peringatan HUT Ke-74 TNI, di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat.

Baca juga: Mahasiswa demo tolak militerisme birokrasi

Baca juga: Mendagri: bela negara bukan bentuk militerisme

Baca juga: Militerisasi warga perbatasan negara belum mendesak


Namun demikian, lanjut dia, dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat perkembangan dimana militer mulai terlibat atau dilibatkan secara aktif di luar domain tupoksinya sebagai aktor pertahanan negara.

Mulai dari pelibatan dalam penanganan keamanan dalam negeri seperti penanganan terorisme, dalih membantu tugas-tugas pemerintahan sipil, hingga penempatan perwira militer aktif pada jabatan-jabatan sipil.

Berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi yang belakangan ini marak dibentuk dan sering digunakan sebagai landasan bagi pelibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri, kata dia, merupakan langkah keliru dan secara jelas bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dikatakannya, berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 30 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang/OMSP).

"Berbagai MoU itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menyebutkan bahwa operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik negara dalam hal ini keputusan Presiden," katanya.

Gufron berpendapat merebaknya berbagai MoU itu mengarah pada menguatnya kembali militerisme.

"Hal itu sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap berpotensi menempatkan tata kelola keamanan seperti pada masa orde baru, yang membuka ruang bagi hadirnya peran militer secara luas dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil," ucapnya.

Perkembangan itu, tambah Gufron, tidak sejalan dan tidak senafas dengan arah reformasi sektor keamanan dan kehidupan negara demokratik.

Di tempat yang sama, Koordinator peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra menambahkan, momentum 74 tahun perjalanan TNI tidak cukup hanya diperingati melalui kegiatan yang bersifat seremonial seperti melalui upacara atau kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya simbolis.

"Jauh lebih penting dan substansi jika Hari Jadi TNI juga digunakan sebagai momentum bagi TNI untuk berbenah diri mengingat masih banyaknya permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh TNI ke depan. Salah satunya yang terpenting adalah mendorong kembali proses reformasi TNI," katanya.

Proses reformasi TNI yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 diakui memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif, seperti pencabutan peran sosial-politik TNI, keluarnya TNI/Polri dari parlemen, penghapusan bisnis TNI dan lainnya.

Namun demikian, kata dia, semua pencapaian yang diraih pada tahun-tahun awal politik transisi Indonesia itu tidak menandakan bahwa proses reformasi TNI bisa telah tuntas dijalankan.

"Yang terjadi adalah sebaliknya dimana proses reformasi TNI bukan hanya mengalami stagnasi tetapi dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran," tutur Ardi.

Oleh karena itu, Imparsial mendesak pemerintah dan DPR segera membentuk undang-undang tentang tugas perbantuan sebagai dasar hukum pelibatan militer dalam OMSP; mendesak anggota DPR yang baru untuk lebih meningkatkan kualitas pengawasan yang efektif kepada TNI demi penguatan profesionalisme TNI.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019