Pertumbuhan ekonomi China menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap permintaan karet alam di dunia
Palembang (ANTARA) - Kepala Bidang Pengelolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Aprian mengatakan banyak faktor yang menyebabkan harga karet di pasaran internasional tak kunjung terkerek naik sejak 2013.

Rudi Aprian di Palembang, Jumat, mengatakan salah satu harga karet tidak pernah naik karena kelebihan suplai di pasar ekspor, mengingat terdapat sejumlah negara baru yang menjadi eksportir karet.

Sebelumnya produksi karet alam dunia hanya berasal dari enam negara penghasil karet alam yaitu Thailand, Indonesia, Vietnam, India, China, dan Malaysia dengan pangsa pasar 85,1 persen. Kemudian, negara produsen baru muncul belakangan seperti Myanmar, Laos, dan Cambodia.

Menurutnya, kondisi perekonomian China yang mengalami penurunan akibat dampak perang dagang dengan Amerika Serikat juga turut mempengaruhi penurunan harga karet.

China dan India masih merupakan negara net importir karet. Sementara permintaan atas karet global masih didominasi China, Eropa Barat, Amerika Serikat, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. China hingga kini masih mendominasi permintaan akan karet alam global dengan pangsa 40,5 persen dari konsumsi global.

“Pertumbuhan ekonomi China menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap permintaan karet alam di dunia. Sementara situasi saat ini tidak menguntungkan karena adanya perang dagang,” kata dia.

Kemudian, faktor lain yang menyebabkan harga karet anjlok yakni harga karet di pasar berjangka Internasional yakni harga karet yang terbentuk di Singapura (SICOM) menjadi acuan transaksi oleh para pelaku bisnis karet alam.

Selain bursa SICOM, bursa Tokyo (TOCOM), dan Shanghai Future Exchange juga memiliki peran dalam pembentukan harga karet alam dunia.

“Sudah lama disinyalir bahwa mekanisme pembentukan harga (price discovery platform ) di SICOM tidak sepenuhnya mencerminkan faktor fundamental supply dan demand karet alam dunia,” kata Rudi.

Kemudian, harga karet di pasaran internasional juga tergantung dengan kurs valas, yakni harga komoditas memiliki hubungan dengan nilai tukar mata uang regional terhadap dolar AS. Apabila penguatan kurs dolar AS menjatuhkan nilai tukar mata uang lain, maka akan berpengaruh terhadap harga karet dunia.

Lalu, faktor lainnya yakni perkembangan industri otomotif dan ban.  Saat ini, kata dia, terjadi penurunan ekonomi global sehingga terjadi menurunan permintaan terhadap mobil. Sementara karet alam dikonsumsi sebanyak 70 persen untuk industri ban dunia.

Kemudian, faktor terkini juga sangat mempengaruhi harga karet yakni kondisi alam. Pada tahun 2017 terjadi bencana banjir di Thailand dalam skala yang cukup besar sehingga petani sama sekali tidak bisa melakukan penyadapan. Kondisi ini berakibat ketatnya pasokan karet alam ke pasar global yang berdampak pada naiknya harga karet alam.

Saat ini juga terjadi serangan penyakit gugur daun Pestalotiopsis sp yang menyebabkan turunnya produksi karet alam secara signifikan di atas 15 persen.

“Produksi karet di tiga negara ITRC hingga Agustus 2019 diperkirakan hanya mencapai 480.000 ton, namun kondisi ini belum berdampak pada kenaikan harga,” kata dia.

Pada 2019 harga karet masih di bawah standar yakni hanya berkisar 1,3 dolar/kg FOB, sehingga harga karet di tingkat petani hanya sekitar Rp5.000-Rp7.000/kg, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000/kg.

Baca juga: BI : Harga karet diperkirakan membaik pada 2020



Kemudian, data terakhir menunjukkan terjadi penurunan ekspor karet Sumatera Selatan pada Mei 2019 sebesar 22 persen, sejalan penurunan produksi karet provinsi itu yang menyusut hingga 40 persen menjadi 583.000 ton per kuartal I 2019. Padahal pada periode 2017-2018, produksi karet secara kuartalan berada di kisaran 971.000 ton.


 

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019