Bandarlampung, (ANTARA News)- Lampung tanpa hutan bukan sekedar ancaman atau isapan jempol. Tingkat kerusakan hutan, baik di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi di Lampung sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan Lampung sekitar 1.004.735 ha atau 34 persen dari luas Provinsi Lampung. Bappeda Provinsi Lampung mengungkapkan pada 2007 kerusakan kawasan hutan lindung mencapai lebih dari 80 persen, sedangkan areal hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi yang rusak masing-masing 67,5 persen dan 76 persen. Kerusakan hutan di Lampung adalah yang terparah di Sumatera. Dengan melihat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,03 persen dalam tujuh tahun terakhir serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka ancaman atas keberadaan hutan tersisa semakin besar. Penduduk Lampung pada 2000 mencapai 6,6 juta jiwa dan pada 2007 membengka menjadi 7,5 juta jiwa. Meski termasuk provinsi termiskin di Indonesia, namun laju pertumbuhan ekonomi Lampung pada 2008 diperkirakan di atas pertumbuhan nasional. Pada triwulan I 2008, pertumbuhan perekonomian Lampung mencapai 7,23 persen. Sektor pertanian adalah kontributor utama atas pertumbuhan perekonomian Lampung. Sayangnya aktivitas pertanian itu ternyata merambah juga hingga ke kawasan hutan lindung, seperti terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan juga kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR). Hasil perambahan hutan di TNBBS setiap tahunnya diperkirakan Rp10 miliar, sehingga WWF-Indonesia pernah sampai mengeluarkan peringatan kepada pembeli internasional tentang kopi Lampung yang tercampur dengan kopi hasil perambahan. AEKI Lampung menyebutkan total produksi kopi hasil perambahan di TNBSS berkisar 19 persen dari total ekspor kopi Lampung tahun 2007 (sekitar 180.000- 190.000 ton) Menurut Kepala TNBBS, Kurnia RN, perambahan hutan lindung di kawasan TNBBS hingga sekarang masih tetap berlangsung. "Ancaman utama terhadap TNBBS sebagai salah satu warisan dunia bukan lagi dari illegal logging, tetapi perambahan hutan untuk dijadikan sebagai tempat pertanian kopi, kakao dan tanaman lainnya," katanya. Menurutnya, luas TNBBS sekitar 356.800 ha, dan sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Luas lahan TNBBS yang dijadikan sebagai permukiman atau pertanian mencapai 60.000 ha dengan jumlah penduduk sedikitnya 19.000 KK. Ia juga menyebutkan di kawasan TNBBS bahkan telah terdapat satu perkampungan di wilayah administrasi Kecamatan Suo, Kabupaten Lampung Barat. Perambahan hutan TNBBS untuk dijadikan sebagai tempat pertanian kopi marak sejak era reformasi (1998), dan sebagian besar para perambah itu justru datang dari Pulau Jawa. "Jadi perambahnya bukan hanya dari penduduk setempat, juga pendatang. Karena nilai kopi mahal maka tanaman itu yang banyak ditanam para perambah," katanya Gambaran kerusakan hutan Lampung lainnya bisa dilihat dari keberadaan Tahura WAR. Tahura WAR berjarak sekitar 15 km dari kota Bandarlampung, terletak di lintas kota Bandarlampung dan Kabupaten Pesawaran. Menurut Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR, kerusakan taman hutan raya itu semakin mengkhawatirkan, dan kerusakan itu telah mencapai lebih dari 61 persen dari luas areal hutan tersebut. Lahan yang masih bervegetasi hutan sekitar 39 persen dari total luas Tahura sekitar 22.249,31 ha, sementara kebun campuran meliputi 55 persen, semak belukar 1 persen dan perladangan sekitar 5 persen. Kawasan hutan yang mengalami degradasi itu, misalnya terdapat di daerah Padang Cermin, Kedondong dan Way Lima. Permasalahan yang dihadapi Tahura WAR, di antaranya adalah kegiatan usaha budidaya tanaman pertanian dan perkebunan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dengan cakupan luasnya sekitar 12.306,97 ha atau 55 persen dari total luas Tahura WAR. Selain itu, terdapat permukiman di 47 titik, adanya klaim lahan oleh kelompok masyarakat di wilayah Padang Cermin dan Kedondong Way Lima, masih terjadi illegal logging dan terjadi penggeseran tapal batas. Tahura WAR dikelilingi tujuh wilayah kecamatan. Hasil sensus tahun 2002 menunjukkan, terdapat sekitar 23.489 KK yang tinggal di dalam dalam dan sekitar kawasan Tahura WAR Lebih serius Satu kunci penting untuk menyelamatkan hutan tersisa yang semakin berkurang, adalah menumbuhkan kesadaran para "stake holders" untuk menjaga keberadan hutan tersisa. Berkaitan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung meminta Gubernur Lampung, Syamsurya Ryacudu untuk lebih serius memberikan perhatian yang mendalam atas kerusakan parah hutan di Lampung sekarang. Pemerintah juga diminta serius mengevaluasi kinerja aparat yang terkait dalam pengelolaan hutan. "Seharusnya kawasan hutan yang rusak direhabilitasi dan yang ada dipertahankan keberadaannya. Ternyata kawasan hutan tetap atau tambah rusak parah," Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Mukri Friatna. Tokoh Lampung, Alzier Dianis Thabranie, mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Lampung memang telah berlangsung sejak dulu dan terus berlanjut hingga sekarang. Meski kerusakan hutan sudah parah, ia melihat tindakan pemerintah daerah setempat belum optimal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dalam rangka mencegah kerusakan hutan itu semakin meluas. Langkah serius yang perlu diambil pemerintah itu, baik Pemda maupun Departemen Kehutanan, harus berupa tindakan yang kongkrit, konsisten dan tegas mengatasi perambahan hutan dan "illegal logging". "Kebijakan keliru seperti pembangunan yang mengabaikan kehutanan dan lingkungan juga harus dicegah. Demikian pula penataan ruang tidak boleh hanya mengadopsi kepentingan segelintir orang," kata Thabranie. Menurut Thabranie pemerintah juga jangan terlalu kerap mengeluarkan peraturan daerah yang membuka dilakukannya eksploitasi hutan. Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak konsisten sehingga mendapatkan tentangan keras dari penggiat masalah lingkungan adalah diizinkannya kegiatan pertambangan di hutan lindung, termasuk kegiatan pertambangan PT PT Natarang Mining (NM) di kawasan hutan lindung di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Barat dan Tanggamus. PP No 2 tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Pembangunan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan, juga akan mengancam keberadaan hutan lindung di Lampung. Untuk menyelamatkan hutan tersisa, serangkaian kebijakan yang terarah dan tegas dalam implementasinya adalah yang diperlukan. Para bupati yang semestinya berada di baris terdepan untuk mempertahankannya, terutama berani menolak setiap kebijakan atau peraturan yang mengancam keberadan hutan lindung, karena hutan itu berada di wilayahnya. Merelokasi perambah hutan memang bukan hal yang mudah, dan biayanya pun sangat besar. Karenanya, upaya merelokasi perambah itu harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten, terutama dalam pembiayaannya. Walhi telah berulangkali menyuarakan bahwa kebijakan yang tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan dan maraknya illegal logging merupakan faktor utama penyebab kerusakan hutan Lampung. Walhi juga mendesak pemerintah daerah untuk menolak kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, karena manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan kerugian sosial ekologisnya. Membangun hutan baru dan melibatkan masyarakat dalam merehabilitasi hutan, adalah saran yang banyak dilontarkan penggiat masalah lingkungan. Berkaitan itu, masyarakat di sekitar kawasan hutan perlu digerakkan agar berperan untuk memperbaiki dan menjaga hutan, sekaligus memanfaatkannya.(*)

Pewarta: Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008