Surabaya (ANTARA News) - Kematian agaknya takdir Allah Yang Maha Kuasa yang tak kuasa ditunda sedetik pun, termasuk takdir bagi dua terpidana mati Ny Sumiasih (59) dan anaknya Sugeng. Bulan Juli 2008 tampaknya merupakan hari-hari yang menjadi takdir, karena di bulan itulah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga mulai mengisyaratkan "akhir" dari kedua terpidana mati itu. "Kedua terpidana yang melakukan pembunuhan berencana atas keluarga Letkol Mar Purwanto pada 13 Agustus 1988 akan segera dieksekusi dalam bulan ini," katanya, di Jakarta (2/7/2008). Sumiasih bersama putranya Sugeng telah menjalani hukuman selama 20 tahun sejak divonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, karena terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap satu keluarga di Jl Dukuh Kupang VII Nomor 24 Surabaya, pada 13 Agustus 1988. Selain Sumiasih, pelaku yang divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan tersebut adalah Serda (Pol) Adi Saputro (menantu) yang sudah dieksekusi, Djais Adi Prayitno (suami) yang meninggal tahun 2001 karena sakit di dalam penjara, dan Sugeng (anak pertama). Adi Saputro telah dieksekusi oleh regu tembak anggota Kodam V/Brawijaya pada 1 Desember 1992. Penyebab pembunuhan berencana adalah suami Sumiasih yang mengelola bisnis keluarga Letkol Purwanto di lokalisasi Dolly Surabaya dianggap menanggung utang berbunga, sehingga menimbulkan dendam. Sementara itu, lima korban pembunuhan adalah Letkol (Mar) Purwanto, Ny Sunarsih (istri Purwanto), Haryo Bismoko (anak), Haryo Budi Prasetyo (anak) dan Sumaryatun (keponakan Purwanto), kemudian mayat kelima korban dibuang ke jurang di Songgoriti, Batu. Agaknya, pernyataan JAM Pidum itulah yang mengawali "sejarah" kedua terpidana setelah berkali-kali mengajukan grasi dan amnesti tapi akhirnya ditolak presiden. Setelah pernyataan JAM Pidum itu, Sumiasih (59) pun mulai menjalani hari-hari terakhirnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Klas II Sukun Malang dengan perlakuan khusus di lingkungan Lapas setempat. "Kami memang diperintahkan untuk memberikan perhatian dan pemantauan ekstra, karena dikhawatirkan bu Sumiasih mengalami shock, stres, dan bahkan bunuh diri," kata Kalapas Klas II Sukun, Entin Martini BcIP di Malang (4/7). Selain pemantauan terhadap kondisi jiwa, pihaknya juga memperhatikan kesehatannya secara ekstra pula. "Sampai sejauh ini, nenek satu cucu itu sehat-sehat saja dan tetap menjalani aktivitas membuat kerajinan maupun kegiatan kerohaniannya," katanya. Untuk aktivitas yang berhubungan dengan kerohanian, katanya, pihaknya juga telah memindahkan Sumiasih ke Blok 5 kamar 8 bersama terpidana lain yang satu agama (Kristen). Ihtiar terakhir Pernyataan JAM Pidum agaknya merujuk penolakan grasi tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI No 4/G Tahun 2008 tertanggal 26 Mei 2008 tentang penolakan grasinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak grasi juga didasarkan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 41/TU/II/2007/12/MA/2007 tanggal 8 Januari 2008, putusan bersalah dari PN Surabaya, Pengadilan Tinggi Jatim, dan MA juga sudah dua kali mengeluarkan penolakan PK (peninjauan kembali). Namun, Sumiasih yang sudah 20 tahun menjalani hari-harinya di Lapas Wanita Klas II Sukun Malang, tetap berharap mendapat ampunan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ikhtiar terakhir. "Saya yakin bapak SBY orangnya bijak dan baik sehingga saya yakin beliau bisa mengampuni saya dan saya yakin pasti ada pertolongan Tuhan sehingga bisa meninggal secara wajar bukan karena eksekusi," kata Sumiasih di Lapas Wanita Sukun Malang (10/7). Oleh karena itu, dirinya menolak menandatangani akta berita acara Keputusan Presiden RI No 4/G/th 2008 tentang penolakan grasinya, karena tidak didampingi pengacara, Soetedja Djajasasmita SH. "Surat resmi permintaan penundaan eksekusi tersebut sudah kami layangkan ke Kejati Jatim di Surabaya hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 7 Juli lalu," kata kuasa hukum Sumiasih, Soetedja Djajasasmita SH ketika membesuk Sumiasih di Lapas Wanita Klas II A Sukun Malang (14/7). Alasan permohonan penundaan eksekusi tersebut, katanya, sampai saat ini belum ada kejelasan grasi kliennya yang mana yang ditolak, karena Sumiasih melayangkan permohonan grasi dua kali pada tahun 2003 dan tahun 2006. Tidak hanya Sumiasih, Sugeng pun melakukan ikhtiar terkahir yakni membuat surat permohonan penundaan eksekusi yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara pribadi dan dikirimkan pada 15 Juli 2008. Selain ditujukan ke presiden, Sugeng juga membuat lima surat yang masing-masing ditujukan kepada ketua DPR, MA, Jaksa Agung, Ketua Komisi III DPR RI, dan ketua Komnas HAM. "Surat untuk presiden saya tulis tangan sendiri. Kalau yang lain hanyalah kopiannya," kata Sugeng di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Surabaya di Porong, Desa Kebun Agung, Porong, Sidoarjo (15/7). Surat yang dimasukkan Sugeng ke dalam amplop coklat bercap LP Klas I Surabaya di Porong itu berjumlah empat lembar. Lembar pertama merupakan surat pengantar dari Kepala Kesatuan Pengamanan LP Porong, Agus Shaleh. Dua lembar berikutnya adalah surat permohonan penundaan ekseskusi, kemudian lembar terakhir merupakan lampiran Daftar Penilaian Tingkah Laku (DPTL) Sugeng selama di Lapas. Semua surat itu dititipkan M Sholeh SH (teman Sugeng saat dipenjara di LP Kalisosok) untuk diteruskan kepada presiden. Agaknya, ihtiar Sumiasih-Sugeng kandas di ujung takdir. "Pengadilan bilang upaya hukum Sumiasih sudah `incracht` (berkekuatan hukum tetap)," katanya usai memimpin rapat koordinasi tim eksekusi di Kejati Jatim (11/7).(*)

Pewarta: Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008