Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia masa bakti 2019—2024 telah dilantik pada tanggal 1 Oktober 2019 yang terdiri atas 575 orang dari sembilan partai politik yang memenuhi syarat electoral threshold dari hasil Pemilu 2019.

Hampir sekitar 50 persen anggota DPR dengan wajah baru, yaitu 285 orang atau 49,57 persen dari seluruh anggota DPR terpilih merupakan pendatang baru. Separuhnya lagi, 290 orang atau 50,43 persen adalah anggota incumbent.

Tugas mahaberat yang harus dipikul oleh anggota DPR yang baru adalah memperbaiki citra yang telanjur buruk yang ditinggalkan oleh anggota dewan pada masa lalu. Padahal, sebagian besar anggota DPR terdiri atas anggota lama yang masih bercokol di dewan yang terhormat itu.

Ada pepatah gajah mati meninggalkan gading; harimau mati meninggalkan belang. Bagi anggota DPR RI periode 2014—2019, citra yang mereka tinggalkan saat purnatugas sangat buruk.

Masyarakat akan selalu mengingat situasi yanag membuat marah dan jengkel atas kinerja mereka. Misalnya, dilampiaskan dalam bentuk demo mahasiswa dan elemen masyarakat lain. Tidak hanya di Jakarta, demo juga terjadi di berbagai kota lain, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya, serta kota besar lainnya.

Baca juga: Melihat representasi dan kepemimpinan perempuan di DPR RI 2019-2024

Dua hari setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Budget Center (IBC) merilis penilaian kinerja anggota DPR RI.

Hasilnya, lembaga legislatif itu mendapat rapor merah lantaran sebagian besar kinerjanya buruk dan berperilaku koruptif. Banyaknya kursi kosong dalam sidang-sidang paripurna kerap menghiasi berita utama media nasional.

Pada tanggal 7 Januari 2019, misalnya, tercatat 310 anggota DPR tidak hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa persidangan III tahun 2018—2019. Meskipun ramai dicibir, DPR tak juga berbenah. Rapat paripurna ke-14 masa sidang keempat yang digelar pada tanggal 19 Maret 2019 lalu hanya diikuti oleh 24 anggota DPR.

Kasus korupsi & redahnya kepatuhan melapor LHKPN juga makin memperburuk citra dan reputasi DPR. Lembaga dengan kepatuhan penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) paling rendah dengan nilai kepatuhan hanya 21,46 persen.

Artinya, hanya satu per lima lebih sedikit dari 536 anggota dewan yang melaporkan harta kekayaannya. Sebagai pembanding, lembaga lain, seperti DPD, MPR, dan beberapa instansi eksekutif lain menyentuh angka minimal 50 persen.

Anggota DPR periode 2014—2019 juga memiliki catatan kasus korupsi cukup banyak, setidaknya ada 23 anggota DPR yang ditangkap KPK.

Baca juga: Anggota DPR minta rekan-rekannya kembalikan kepercayaan rakyat

Performa Buruk

Gambaran di atas menunjukkan betapa lemahnya DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga demokrasi. Hal ini dilatari oleh sejumlah faktor, di antaranya: Pertama, performa DPR sebagai salah satu pilar demokrasi sangat buruk. Bahkan, sebagian besar anggotanya terjebak dalam politik partisan.

Nyaris semua anggota DPR memiliki paradigma berpikir bahwa mereka adalah wakil partai sehingga harus berjuang mati-matian untuk memperjuangkan kepentingan partainya, dan sudah pasti akan tidak pepduli lagi kepada konstituen yang telah memilihnya.

Akibatnya, mereka tidak hanya mengkhianati mandat rakyat, tetapi juga membuatnya tidak mampu berpikir, apalagi bertindak progresif.

Nalar partisan DPR juga tampak jelas dalam komunikasi serta perilaku politik sebagian besar anggotanya yang nyaris tidak pernah jauh dari kecenderungan konfrontatif. DPR agaknya tidak dapat menghindar dari kondisi perpolitikan nasional yang terpolarisasi ke dalam dua kelompok besar.

Polarisasi politik itu rupanya menyita hampir seluruh energinya sehingga kerja kinerjanya tidak lagi menjadi prioritas utama.

Baca juga: Rumah dinas anggota DPR baru sudah disiapkan

Kedua, kualitas sebagian besar anggota DPR periode 2014—2019 jauh dari harapan sebagai wakil rakyat. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar anggota legislatif berlatar belakang pengusaha. Sisanya adalah pesohor, figur publik yang minim pengetahuan dan pengalaman politik.

Sementara itu, kalangan aktivis politik, organisator sosial, dan pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang umumnya memiliki pengetahuan sekaligus pengalaman mumpuni di bidang legislasi justru menempati porsi yang sangat minim.

Kondisi demikian tentu ironis sehingga tidak jarang menciptakan sistem demokrasi cenderung menjurus pada praktik demokrasi liberal. Mekanisme pemilihan anggota legislatif proporsional terbuka membuat kontestasi politik lebih sering diwarnai oleh pertarungan modal finansial dan sosial ketimbang pengetahuan, pengalaman, dan rekam jejak calon legislator.

Realitasnya, sistem pemilihan seperti itu sudah pasti menguntungkan calon legislator dari kalangan pengusaha yang notabene memiliki bekal finansial yang melimpah serta kalangan selebritis yang memiliki modal sosial berupa popularitas.

Kondisi itu diperparah dengan sikap partai politik yang lebih memilih jalan pintas untuk mengusung caleg dengan latar belakang pengusaha maupun selebritas dengan kemampuan diragukan daripada mengusung kader sendiri yang memiliki kualitas lebih menjanjikan.

Baca juga: Paripurna DPR tetapkan pimpinan fraksi

Ketiga, kita melihat dengan mata telanjang bahwa sebagian besar anggota DPR cenderung tidak memiliki integritas. Misalnya, tidur di ruang sidang, perilaku hedonis, koruptif, mangkir sidang, nonton film porno lewat HP, adalah sebagian ekses dari lemahnya integritas para anggota dewan.

Mestinya mereka (para anggota dewan) sadar bahwa kerja legislasi yang diemban DPR bukan jenis pekerjaan yang bisa dilakoni semua orang, melainkan perlu kecakapan berpolitik praktis sekaligus penguasaan terhadap wacana sosial untuk mampu menjalankan perannya sebagai penyusun undang-undang. Peran itu tidak akan berjalan maksimal jika DPR dikuasai oleh para petualang politik.

Mekanisme Kontrol

Kinerja buruk DPR masa lalu tentu tidak dapat ditoleransi. Selain berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan dan pembangunan, hal itu juga mengkhianati mandat rakyat. Gaji melimpah dan sederet fasilitas mewah tidak sepatutnya ditukar dengan kerja sembarangan.

Dalam jangka pendek, kita membutuhkan mekanisme kontrol yang memungkinkan diberikannya sanksi ketika DPR gagal memenuhi tenggat terkait dengan kinerja mereka.

Menjadi anggota DPR adalah pekerjaan profesional, layaknya pekerjaan profesional pada umumnya, anggota DPR sudah sepatutnya mendapat imbalan (reward) atas pekerjaan yang mereka lakukan.

Sebaliknya, jika mereka gagal melaksanakan tugas, idealnya juga ada mekanisme untuk memberikan hukuman (punishment). Penundaan gaji DPR, misalnya, dalam konteks ini agaknya perlu dipetimbangkan lebih lanjut.


Baca juga: Sri Mulyani menyatakan siap diskusi dengan anggota DPR baru

Ketiadaan sanksi ini menjadi salah satu faktor mengapa DPR leluasa menentukan ritme kerja yang serba tidak jelas yang pada akhirnya membuat target kinerjanya jauh dari harapan.

Dalam jangka panjang, publik sudah pasti menunggu upaya serius partai politik dalam melakukan reformasi internal, utamanya dalam konteks rekrutmen dan pengajuan bakal calon legislatif.

Parpol idealnya mampu beranjak dari cara-cara lama rekrutmen caleg yang lebih menitikberatkan pada kekuatan finansial dan popularitas individu. Parpol idealnya membuka ruang selebar-lebarnya bagi sosok-sosok bermental progresif yang diharapkan tidak mengalami kegagapan menghadapi kerja-kerja legislasi.

Tidak kalah penting dari itu semua ialah upaya terus-menerus dalam mengedukasi publik agar menjadi pemilih berkarakter cerdas. Pemilih yang menentukan pilihannya bukan berdasar pertimbangan emosional, misalnya diiming-imingi uang untuk memilih, melainkan lebih pada pertimbangan rasional.


Baca juga: Masyarakat minta anggota DPR baru jaga amanah rakyat

Edukasi politik yang demikian ini menjadi sangat penting untuk memastikan pemilihan umum yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu menghasilkan legislator yang mumpuni, profesional, dan berintegritas, serta cakap dalam semua urusan kinerjanya sebagai seorang legislator yang menjadi harapan semua rakyat.

Besar harapan kepada para anggota legislatif yang baru agar dapat memberikan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya, serta mampu memperbaiki citra DPR yang terlalu banyak coretan tinta merah dari publik dengan menunjukkan profesionalitas dan produktivitas kinerjanya sebagai lembaga yang membawa amanah warga negara Indonesia.

*) Staf pengajar Komunikasi Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Copyright © ANTARA 2019