Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menekankan pentingnya undang-undang fintech dan perlindungan data pribadi (PDP) untuk segera diterbitkan agar bisa menjadi solusi terbaik dalam menjerat serta menindak fintech ilegal.

"Kalau kita berbicara mengenai harapan tidak ada lagi fintech ilegal sebenarnya kita (fintech terdaftar di OJK) sedang berlomba dengan mereka (fintech ilegal), dan yang seperti saya sampaikan belum ada perangkat undang-undang yang bisa menjerat fintech ilegal. Kalau belum ada perangkat undang-undang, kita akan terus-menerus berlomba dengan fintech ilegal," ujar Kepala Bidang kelembagaan dan Humas AFPI, Tumbur Pardede di Jakarta pada Selasa.

Saat ini pihaknya hanya bisa melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait fintech lending yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), supaya masyarakat bisa memahami dan meminjam kepada fintech lending yang terdaftar di OJK.

Selain itu AFPI juga bersama-sama Satgas Waspada Investasi OJK bersama melakukan pengecekan dan menemukan bahwa fintech-fintech ilegal melakukan penawaran lewat sms dan kanal-kanal lainnya.

Baca juga: AFPI imbau masyarakat gunakan fintech legal dari OJK

"Kita juga sempat menemukan fintech-fintech ilegal tersebut bekerja sama dengan payment gateway kemudian kita tutup sumber intinya, namun fintech-fintech ilegal ini masih terus dan belum jera beroperasi bahkan sekarang mengarah pada modus operandi bekerja sama dengan koperasi simpan pinjam, dan saat ini hal tersebut lagi marak fintech-fintech ilegal masuk ke sana," kata Tumbur Pardede.

Faktanya bagaimanapun dihadang dan dicegah dengan berbagai cara, fintech-fintech ilegal tersebut selalu bisa mencari celah untuk menghindarinya. sepanjang tidak ada undang-undang,. mustahil untuk memberantasnya.

"Kenapa kita butuh undang-undang fintech dan perlindungan data pribadi? karena kita butuh dasar hukum yang paling kuat dan tertinggi yakni undang-undang. dalam menjalankan praktik usaha fintech lending, sepanjang tidak ada undang-undang kita tidak bisa melindungi diri sendiri dengan adanya praktik-praktik yang dilakukan oleh fintech ilegal," ujarnya.

Kalau dengan peraturan OJK maka yang diatur adalah fintech-fintech terdaftar, sedangkan fintech-fintech ilegal tidak ada yang mengaturnya karena ketiadaan regulasi untuk menjerat mereka.


Baca juga: Asosiasi dukung pemerintah blokir "fintech" ilegal
Baca juga: OJK : Fintech ilegal ibarat monster, hati-hati tawaran kredit lewat HP

Pihak yang berwajib bisa menindak fintech-fintech ilegal dan tidak terdaftar di OJK ini jika terdapat perangkat regulasi yang menjadi landasan hukumnya. Itulah salah satu alasan mengapa pentingnya dibutuhkan undang-undang fintech dan perlindungan data pribadi ini.

"Saat ini eranya digital dan fintech merupakan salah satu bagian dari era digital 4.0, fintech tidak akan berhenti di sini tapi akan terus berkembang pesat di mana peranannya akan semakin besar sehingga dibutuhkan perangkat regulasi semacam undang-undang," katanya.

Pihaknya sudah menyampaikan kepada OJK, menyiapkan kajian-kajian terkait hal-hal yang dibutuhkan untuk bisa disampaikan kepada legislatif agar bisa dirumuskan menjadi undang-undang fintech. Sedangkan  terkait undang-undang perlindungan data pribadi sudah ada rancangan undang-undangnya.

Sebelumnya OJK sudah menutup 1.350 fintech ilegal dan berdasarkan penyelidikan server fintech-fintech ilegal tersebut kebanyakan berada di luar negeri. Salah satu ciri fintech ilegal adalah menawarkan pinjaman lewat pesan seluler, sehingga kalau masyarakat menerima sms yang menawarkan pinjaman dapat diduga itu merupakan fintech ilegal.

Baca juga: Satgas temukan 123 fintech penyalur pinjaman ilegal
Baca juga: Rugikan konsumen, keberadaan fintech ilegal perlu diberantas

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019