Oleh Budisantoso Budiman Bandarlampung (ANTARA News) - Lima ekor Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) asal hutan Aceh Selatan (NAD), yang pada 27 Juni 2008 ditranslokasi dan dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung, berbuntut kontroversi. Menjelang rencana melepasliarkan lima ekor harimau itu --empat jantan dan satu betina, berusia sekitar empat sampai lima tahun-- setelah Gubernur NAD, Irwandi Yusuf, meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi dan Dinas Kehutanan Lampung untuk mengembalikannya ke Aceh. Tokoh masyarakat Aceh dan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bereaksi serupa. Gubernur NAD bahkan telah melayangkan surat permintaan pengembalian semua harimau itu, kepada Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung. Namun, Arinal Junaidi saat menjadi Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung --sekarang sudah diganti Anwar Effendi-- menyatakan bahwa masalah itu telah diserahkan kepada Departemen Kehutanan. Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban, saat berkunjung ke Lampung pada awal Juli 2008 menanggapi permohonan Gubernur NAD, dengan memintanya untuk mengambil sendiri satwa langka dan dilindungi itu, kalau menghendaki dipulangkan ke NAD. "Habitat harimau itu kan di Sumatera, jadi wajar kalau dijaga spesiesnya walau harus dibawa ke Lampung. Kalau dipulangkan ke NAD, apakah NAD bisa menjamin hewan itu," kata Kaban. Apalagi, harimau itu biaya translokasinya ke Lampung mencapai nilai miliaran rupiah. Translokasi itu, menurut Kaban juga merupakan langkah positif untuk mencegah kepunahannya. "Gubernur NAD harus mempunyai alasan yang tepat. Tidak asal meminta harimau itu dikembalikan ke Aceh lagi," katanya. Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017 yang disusun Dephut dan sejumlah LSM peduli kelestarian harimau disebutkan satwa itu merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang hanya hidup di Pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida dalam ekosistem hutan Sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh pemerintah Indonesia, dan dikategorikan oleh IUCN (lembaga konservasi internasional) sebagai satwa yang mendekati kepunahan. CITES (Konvensi tentang perdagangan satwa dan tumbuhan terancam punah) telah melarang perdagangan dan perburuan satwa tersebut. Upaya untuk menyelamatkan harimau sumatera telah sejak lama dan secara terus-menerus dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dan berbagai pihak yang peduli terhadap pelestarian satwa ini baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, karena upaya tersebut sering kurang terintegrasi dengan derap pembangunan ekonomi di Pulau Sumatera, sejauh ini hasilnya masih kurang menggembirakan. Saat ini populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal sekitar 300 ekor, yang tersebar di beberapa kawasan hutan yang terfragmentasi (terpisah-pisah), karena berbagai sebab, terutama penebangan dan konversi hutan. Harimau sumatera merupakan salah satu warisan kekayaan alam Indonesia yang saat ini masih tersisa. Dua anak harimau yang pernah hidup di Indonesia, yaitu Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), telah punah dari bumi Indonesia. Dua harimau itu, telah dinyatakan punah, masing-masing pada tahun 1940-an dan 1980-an, demikian catatan Seidensticker dkk. pada 1999. Saat ini hanya sub-spesies harimau sumatera yang tersisa dan itupun hidupnya terfragmentasi satu dengan lain. Sejak 1996, harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN) di divisi Cat Specialist Group 2002. Pada 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak, dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), dengan sekitar 100 ekor lainnya berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (hasil Lokakarya Harimau dan Gajah 2007). Jumlah minimal berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga adalah sekitar 250 harimau dewasa yang tersebar di delapan kawasan dari 18 kawasan yang perkirakan menjadi habitat harimau sumatera. Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah aktivitas manusia, terutama konversi hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas tersebut juga sering menjadi penyebab konflik antara manusia dan harimau. Konflik itu kerap menuai korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya harimau dari habitatnya. Berdasarkan data perkiraan antar waktu, sebagaimana digambarkan sebelumnya, populasi harimau sumatera cenderung menurun dari tahun ke tahun. Apabila tidak dilakukan intervensi pengelolaan yang tepat, satu-satunya sub spesies harimau yang tersisa di Indonesia ini diyakini akan punah dalam waktu tidak lama lagi. Sejauh ini, pemerintah telah bekerjasama dengan LSM nasional maupun internasional dalam melakukan studi dan pengelolaan harimau sumatera. Oleh karena itu, keberadaan lima ekor harimau asal Aceh Selatan di Lampung, menjadi sorotan berbagai pihak. Selain Gubernur NAD, tokoh masyarakat yang juga pencinta lingkungan NA), Bastari Raden (54), juga menuntut agar lima ekor harimau dan seekor buaya yang berasal dari hutan di Aceh Selatan dan kini telah berada di Lampung, untuk segera dikembalikan ke hutan di daerahnya. "Kami menuntut semua harimau itu dikembalikan lagi ke Aceh, karena itu milik Aceh yang dibawa diam-diam ke Lampung atas nama pemerintah pusat tanpa seizin kami," kata Bastari. Tokoh masyarakat yang tinggal di Tapak Tuan, Aceh Selatan, yang juga pegiat LSM Yayasan Rimung Lam Kalut (Harimau dalam Pertapaan), mempertanyakan inisiatif masyarakat di sana untuk menangkap harimau itu karena dianggap membahayakan jiwa mereka. Namun, dia mempertanyakan kenyataan harimau itu justru tidak jadi dilepaskan lagi di Aceh, seperti dijanjikan, malah justru dibawa ke Lampung. Apalagi, setelah mengetahui pada areal hutan tempat rencana melepaskan harimau itu di Lampung berada dekat wilayah pengembangan kawasan wisata alam (ekoturisme) yang dikembangkan oleh Artha Graha Network melalui perusahaannya di Lampung itu. "Kami warga Aceh minta kepada Departemen Kehutanan agar segera mengembalikan lima ekor harimau itu ke Aceh, dan tidak dilepaskan di hutan di Lampung, apalagi kalau tujuannya akan dibisniskan," ujarnya. Hal yang sering dipertanyakan adalah "kenapa mesti dilepaskan di Lampung, padahal hutan di Aceh lebih luas dan masih lebih lebat daripada hutan di Lampung." Sejumlah LSM, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung dan Kawan Tani serta Dana SUaka Margasatwa (WWF) Indonesia, juga mengkritisi translokasi harimau itu. Mereka juga mengingatkan, agar tujuan konservasi harimau sumatera maupun nasib warga masyarakat di sekitar hutan TNBBS yang terkena dampak keberadaan harimau itu, benar-benar harus diperhatikan. Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Mukri Friatna, Pimpinan LSM Kawan Tani, Kurniadi, dan Pimpinan WWF Indonesia di Lampung, Nurcholis Fadhli, juga mengingatkan bahwa kondisi yang paling baik bagi keberadaan satwa liar jenis langka dan dilindungi itu semestinya adalah tetap hidup pada habitatnya yang asli. "Harimau asal Aceh Selatan itu seharusnya sejak awal harus diupayakan tetap dipertahankan hidup pada habitatnya di Aceh," kata Mukri. Kepala Balai Besar TNBBS, Kurnia A. Rauf, menjelaskan bahwa kelima ekor harimau itu rencananya akan dilepasliarkan di daerah Tampang Belimbing (Tambling), Bengkunat, di Kabupaten Lampung Barat. Menurut dia, tujuan harimau itu ditranslokasikan ke Lampung adalah untuk diliarkan kembali di habitat alamnya yang baru di dalam kawasan hutan TNBBS. Translokasi lima ekor harimau itu dari Aceh ke Lampung tersebut merupakan hasil kerja bersama antara Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, Balai Besar TNBBS Lampung, Departemen Kehutanan, Forum Kerjasama Harimau Sumatera, serta Artha Graha Peduli. Hutan TNBBS berada di wilayah Provinsi Lampung dan Bengkulu (Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus/Lampung, serta Kabupaten Kaur Selatan/Bengkulu) seluas sekitar 356.800 ha. Namun, sekira 86.000 hektare/ha (22,5 persen) luas kawasan hutan itu telah mengalami bukaan akibat perambahan untuk aktivitas berkebun (budidaya) maupun hunian liar warga, dengan laju pengrusakan rata-rata tiap tahun 0,64 persen. Konflik satwa liar dengan masyarakat di sekitar TNBBS, terutama antara gajah liar dengan warga sekitar tergolong cukup tinggi. Sebanyak enam warga di sekitar hutan itu tewas, diduga kuat akibat amukan gajah liar dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa tahun lalu, sejumlah warga di Lampung Barat juga diketahui tewas, diduga akibat berkonflik dengan harimau liar yang keluar hutan. Namun, gangguan harimau beberapa tahun terakhir tidak seserius gangguan akibat gajah liar itu. Kelayakan TNBBS TNBBS merupakan salah satu "situs warisan alam dunia" yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO). Wilayah tersebut menjadi tempat habitat baru bagi lima ekor harimau asal Aceh Selatan itu karena dinilai wilayah hutannya masih memadai, jumlah makanan alami masih mencukupi serta relatif mudah diawasi. Di kawasan selatan hutan TNBBS diperkirakan masih terdapat antara 35 hingga 40 harimau Sumatera liar yang hidup alami di sana. Pemindahan hewan pemakan daging itu disponsori Artha Graha Peduli dan difasilitasi Taman Safari Indonesia. Sebelum dilepaskan, lima harimau itu perlu adaptasi dan direhabilitasi selama dua pekan untuk pemulihan, serta menghuni sementara areal karantina di hutan TNBBS. Di tubuh harimau-harimau itu juga dipasang alat deteksi posisi berteknologi satelit (Global Positioning Satellite/GPS) untuk memudahkan pemantauan terhadap mereka setelah dilepas ke alam bebas. Gubernur Lampung, Syamsurya Ryacudu, mengakui bahwa telah mendapatkan informasi perkembangan terakhir rencana pelepasliaran harimau asal Aceh itu ke hutan TNBBS di Lampung Barat. Harimau termasuk satwa langka dilindungi di dunia, sehingga menurut Syamsurya, semua pihak semestinya berterima kasih kepada pengusaha dan pihak yang peduli kelestarian satwa langka nyaris punah itu. Salah satu pihak swasta yang mensponsori translokasi lima ekor harimau --dan seekor buaya-- ke Lampung, Artha Graha Peduli, pimpinan pengusaha Tommy Winata, juga siap mendukung pelepasliaran di hutan TNBBS di Lampung Barat, dengan konsekuensi ikut pula membantu perawatan dan pemeliharaannya. "Saya mendapatkan informasi bahwa dengan dukungan Artha Graha, yang dipimpin pengusaha Tommy Winata itu, dilibatkan pula ahli harimau dari Taman Safari Indonesia Bogor untuk menjaganya," ujar Syamsurya. Perkembangan terakhir, dari lima ekor harimau itu, dimungkinkan siap dilepas ke hutan, direncanakan pada Selasa (22/7) hanya dua ekor, mengingat tiga ekor lainnya masih dalam perawatan. Pemda Lampung, menurut Syamsurya, juga telah mendapatkan kepastian setelah dilepasliarkan di hutan TNBBS itu, terdapat zona harimau dan permukiman manusia yang dibatasi oleh sebuah kawasan yang terdapat penangkaran babi hutan, kijang, kerbau liar, dan lainnya, sehingga diharapkan harimau itu tidak akan keluar hutan. "Tapi, warga masyarakat di sekitarnya diharapkan tidak lagi masuk ke dalam hutan TNBBS itu. Walaupun harimau kalau kenyang tidak akan mengganggu manusia, tapi ketika tempat hidupnya diusik manusia, tetap akan menjadi masalah," katanya. Ia menimpali, "Harimau itu dilepasliarkan justru agar tetap terlindungi dan terpelihara, sehingga perlu terus dipantau keberadaan dan perkembangannya." Di kawasan sekitar hutan TNBBS dan permukiman warga di sana, pengusaha Tommy Winata mengembangkan kawasan wisata alam (ekoturisme) melalui PT Adhiniaga Kreasinusa dari Artha Graha Network (TW Nature Conservation--sebelumnya PT SAC Nusantara) sebagai kawasan wisata petualangan, perburuan satwa hasil penangkaran, dan wisata alam termasuk tempat bagi penghobi fotografi alam. Oleh karena itu, menurut Syamsurya, Tommy Winata juga telah berkomitmen untuk ikut menjaga keseimbangan alam di wilayah sekitar Tampang Belimbing di Kabupaten Lampung Barat itu dengan mengupayakan dukungan dapat menjaga kelestarian, keaslian habitat hutan setempat. "Mereka juga menjaga kebersihan, dengan menerapkan aturan bagi pengunjung di sana tidak boleh merokok dalam kawasan itu. Jumlah pengunjung juga tidak boleh lebih dari 30 orang," katanya. Perusahaan yang mengembangkan wisata alam di sekitar TNBBS itu, juga bersedia mendukung pembersihan pantai di sana dari sampah plastik, botol, bekas minuman ringan lainnya, untuk dapat dikumpulkan warga setempat, sehingga bisa dibeli mereka. Menurut Syamsurya, di kawasan hutan TNBBS di Tampang Belimbing itu, dinilai masih memiliki keanekaragaman hayati yang baik, yaitu terdapat pohon dengan diameter dua meter yang berjumlah sekitar 11.000 pohon, masih hidup alami sejumlah satwa liar seperti harimau, gajah, buaya, kerbau liar, burung elang dan sejumlah satwa liar lainnya. "Semuanya merupakan kekayaan alam dan aset daerah maupun dunia yang harus tetap terpelihara," demikian Syamsurya. Rencananya dua dari lima ekor harimau asal Aceh yang telah dibawa ke Lampung, akan segera dilepasliarkan di hutan TNBBS di wilayah sekitar Tampang Belimbing, Pemangku Pengekahan, Pekon Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Lampung Barat, setidaknya pada awal pekan depan. Berkaitan itu, harus dilaksanakan pula pemindahan sekitar 164 KK warga yang tinggal di permukiman dalam hutan (enclave) Pemangku Pengekahan, Pekon Way Haru, ke lokasi permukiman di Sumberrejo, Kecamatan Pesisir Selatan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008