Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengungkapkan, penguasaan teknilogi pengelolahan masih menjadi kendala bagi pengembangan industri rumput laut di dalam negeri selama ini. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) DKP, Martani Husaini di Jakarta, Senin mengatakan, pengolahan rumput laut memerlukan teknologi yang spesifik yang hanya dimiliki oleh Prancis, Jerman dan Denmark. "Kalau kita tidak memiliki teknologi pengolahan ini maka industri rumput laut di Indonesia tak bisa menjadi industri yang baik," katanya pada seminar Pengembangan Industri Rumput Laut Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, tambahnya, pihaknya akan melakukan pendekatan kepada ketiga negara tersebut untuk membagikan teknologi pengolahan rumput laut guna mengembangkan industri di tanah air. Menurut dia, saat ini Indonesia merupakan produsen bahan baku rumput laut terbesar di dunia namun karena lebih banyak dijual dalam bentuk gelondongan sehingga harganya rendah. Filipina dan China karena telah mampu menguasai teknologi pengolahan rumput laut maka ekspor mereka sudah dalam bentuk olehan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. "Kita akan meyakinkan kepada negara-negera pemilik teknologi bahwa kita mampu seperti China maupun Filipina," katanya. Menyinggung harga jual rumput laut, Martani mengatakan, untuk jenis gracelaria sekitar Rp3500/kg kering sedangkan untuk cotoni mencapai Rp6500-Rp8000/kg. Padahal jika telah melalui pengolahan maka untuk semi karaginan bisa mencapai Rp80.000/kg sedangkan dalam bentuk chips seharga Rp30.000/kg. Pada kesempatan itu Dirjen P2HP DKP juga mengungkapkan saat ini sudah ada salah satu investor dalam negeri yang siap mengembangkan industri pengolahan rumput laut di Minahasa Utara dengan menerapkan teknologi Perancis. PT Algomer, perusahaan yang akan menanamkan modalnya tersebut rencananya akan melakukan investasi sebesar 8 juta euro namun hingga kini masih terkendala dengan perbankan. Sementara itu Gubernur Sulawesi Tengah, HB Paliuju mengungkapkan, budidaya rumput laut di daerah tersebut mencapai 106.300 ha atau 9,6 persen dari areal nasional, yang mana tingkat pemanfaatanya baru empat persen. Tahun 2007, tambahnya, produksi rumput laut Sulteng mencapai 17.000 ton sehingga menempatkan provinsi tersebut sebagai penghasil rumput laut ke tiga di Indonesia setelah NTB dan Sulsel. Menurut dia, wilayah pengembangan rumput laut di Sulteng tersebar di 10 kabupaten/kota meliputi tiga klaster yakni Parigi Moutong, Toli-toli dan Bangkep. Pada 2008 pemda Sulteng menetapkan sasaran areal rumput laut seluas 3.926 ha dengan produksi 22.500 ton kering serta investasi di sektor budidaya Rp19,63 miliar dan untuk pabrik rumput laut Rp10 miliar. Sedangkan pada 2009 akan dikembangkan klaster Teluk Tomini di Kabupaten Parigi Moutong yang juga mencakup wilayah Poso dan Tojo Una-una. "Pemerintah daerah akan menyiapkan lahan budidaya, kawasan jemur/pergudangan dan pabrik di kawasan industri," katanya. Selain itu juga memfasilitasi kemitraan antara pembudidaya dengan investor terhadap akses teknologi, pasar dan modal.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008