Bank Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi uang elektronik hingga Juli 2019 mencapai 261,2 persen secara tahunan
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dan Bank Indonesia berencana meningkatkan penetrasi penggunaan uang elektronik untuk penyaluran bantuan sosial (bansos), salah satunya dalam penyaluran insentif Kartu Pra Kerja pada 2020.

Namun pelibatan uang elektronik dalam penyaluran bansos harus disertai dengan pengawasan yang komprehensif agar bansos benar-benar tepat nilai dan sasaran.

Bank Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi uang elektronik hingga Juli 2019 mencapai 261,2 persen secara tahunan (year on year/yoy). Hal tersebut mengindikasikan preferensi masyarakat terhadap penggunaan uang digital dalam kehidupan sehari-hari terus meningkat.

Melonjaknya pertumbuhan uang elektronik juga mencerminkan penetrasi alat pembayaran tersebut ke dalam ekosistem digital yang meluas, seperti terhadap perbelanjaan daring (e-commerce), maupun transaksi keuangan pemerintah seperti penyaluran bantuan sosial.

Dengan perkembangan yang pesat dan diversif, serta masifnya respon masyarakat, uang elektronik kini digadang-gadang menjadi alat pembayaran masa depan.

Hal itu sesuai dengan esensi penggunaan uang elektronik pada satu dekade silam di tataran global, ketika dunia dihadapkan pada tantangan meningkatkan tingkat keuangan inklusif.

Saat ini uang elektronik dipercaya menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan tingkat keuangan inklusif, begitu juga dengan yang terjadi di Indonesia. Pasalnya akses keuangan yang inklusif di suatu negara akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi suatu negara tersebut.

Indonesia menargetkan tingkat keuangan inklusif dapat mencapai 75 persen pada akhir 2019. Oleh karena itu pula, penggunaan uang elektronik terus difasilitasi dengan peraturan yang memadai dan ekosistem yang ideal.

Salah satu wajah perkembangan uang elektronik dewasa ini adalah pelibatan alat pembayaran digital tersebut sebagai medium penyaluran bantuan sosial (bansos) pemerintah. Hal ini berangkat dari permasalahan klasik bansos yakni penyaluran yang tidak tepat sasaran, dan tidak tepat guna.

Maka itu sejak beberapa tahun lalu, beberapa program bansos mengandalkan uang elektronik sebagai medium penyaluran seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) maupun Program Keluarga Harapan (PKH). Pada 2020, pemerintah kembali berencana meningkatkan penggunaan uang elektronik untuk penyaluran bansos yakni untuk pencairan insentif Program Kartu Pra Kerja dengan total anggaran hingga Ro10 triliun dalam APBN 2020.

Baca juga: BI targetkan 15,6 juta keluarga dapat bansos secara elektronik

LKD "Siluman"

Sayangnya, pada tahun ini, masifnya penggunaan uang elektronik dalam penyaluran bansos meninggalkan masalah yang tak bisa dibiarkan. Masalah itu terindikasi dari pernyataan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pada Senin (23/9) pekan lalu.

BUMN yang bertanggung jawab pada suplai dan distribusi komoditas pangan itu menyampaikan ada sekitar 300 layanan keuangan digital/LKD (e-warong) yang diduga “siluman” dan digunakan sebagai wadah penyaluran bantuan pangan nontunai.

E-warong adalah agen layanan keuangan digital (LKD) yang bekerja sama dengan bank penyalur BPNT. LKD bisa berupa pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat pembelian bahan pangan oleh Keluarga Penerima Manfaat, yaitu pasar tradisional, warung, dan toko.

Budi Waseso mengatakan tim independen yang dibentuknya menemukan berbagai penyelewengan yang menyulitkan Bulog untuk menyalurkan beras ke penerima bantuan pangan nontunai (BPNT). Salah satu temuan itu adalah adanya 300 e-warong di berbagai wilayah di Indonesia yang diduga siluman atau ilegal.

Pengelola atau agen e-warong ilegal itu diduga bekerja sama dengan oknum penyalur sehingga bisa menjadi agen penyalur BPNT.

Kasus lain yang ditemukan tim independen adalah adanya oknum yang menyalahgunakan uang BPNT yang diterima keluarga penerima manfaat (KPM) lewat kartu elektronik. Budi mengatakan, ada oknum yang berani menagih kartu BPNT untuk diakses ke e-warong dan ditukar uang tunai yang nominalnya lebih kecil dari nilai yang diterima PMK tiap bulan, yaitu Rp110.000.

Baca juga: Pemerintah sepakati pemberian bansos harus berbasis NIK

Tambah Peran Pengawasan

Akar permasalahan kasus ini memang belum terang benderang. Perum Bulog juga belum menjelaskan secara rinci hasil investigasinya. Kasus ini pun masih terbilang baru.

Sementara BI sebagai otoritas sistem pembayaran sudah memiliki landasan hukum mengenai penyelenggaraan maupun agen LKD yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang perluasan ekosistem Layanan Keuangan Digital (LKD) beserta peraturan turunannya.

Terdapat Surat Edaran (SE) Nomor 18/22/DKSP Perihal Keuangan Digital tertanggal 27 September 2016 yang merupakan peraturan teknis dari PBI tersebut.

Dalam SE tersebut, penunjukan Agen LKD diatur BI untuk dilakukan oleh Penyelenggara LKD dengan tahapan uji tuntas (due diligence), pelatihan dan edukasi.

Penyelenggara LKD harus mempunyai standard operating procedure (SOP) untuk pelaksanaan uji tuntas (due diligence) Agen LKD.

Dengan demikian, penunjukkan "e-warong" sebagai Agen LKD menjadi tanggung jawab Bank yang menunjuk "e-warong" tersebut.

BI perlu mengevaluasi kemampuan dan pengawasan yang dilakukan oleh bank sebagai penyelenggara LKD dalam memilih Agen LKD untuk penyaluran program Bansos.

Jika perlu, tim pengawasan BI agar terjun langsung dalam memverifikasi segala tahapan penyaluran Bansos hingga pencairan yang dilakukan KPM.

Hal ini penting agar perluasan penggunaan uang elektronik dalam bansos dapat benar-benar menghasilkan nilai bansos yang tepat sasaran dan tepat nilai. Bagaimanapun bansos merupakan subsidi dari pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.

Efektivitas bansos akan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Peningkatan peran BI dalam efektivitas penyaluran bansos sangat dibutuhkan agar "jamu manis" dari sistem pembayaran terhadap pertumbuhan ekonomi seperti yang sering digaungkan Gubernur BI Perry Warjiyo benar-benar terealisasi.

Baca juga: Anggaran bansos naik sebesar Rp3 triliun pada 2020

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019