Jakarta (ANTARA News) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai, hingga saat ini, para penegak hukum di Indonesia belum banyak memanfatkan akuntansi forensik untuk mencari bukti atau mencari kebenaran dalam kasus kejahatan keuangan. "Aparat penegak hukum masih lebih banyak menggunakan cara konvensional, sementara melalui akuntasi forensik belum banyak," kata Kepala PPATK, Yunus Husein, dalam seminar Fungsi dan Penerapan Akuntansi Forensik dalam Proses Penegakan Hukum di Indonesia yang berlangsung di Gedung PPATK, Jakarta, Kamis. Proses penegakan hukum khususnya pencarian bukti, menurut dia, masih lebih banyak menggunakan cara konvensional seperti pemanggilan pihak-pihak terkait dan terlibat untuk dimintai keterangan. "Sampai saat ini penggunaannya masih terbatas untuk manajemen keuangan, sementara untuk penegakan hukum masih kurang. Ini mungkin karena pemahaman penegak hukum terhadap akuntansi forensik juga masih kurang," katanya. Ia menyebutkan, penggunaan akuntansi forensik di luar negeri untuk penegakan hukum sudah lebih maju. Husein mencontohkan, terbongkarnya kejahatan Alcapone di AS karena adanya penyidikan oleh aparat pajak di negara itu melalui pendekatan akuntansi. Menurut PPATK, praktik akuntansi forensik di Indonesia tumbuh pesat tidak lama setelah krisis ekonomi pada 2007. Tingkat korupsi yagn masih tinggi juga menjadi pendorong yang kuat untuk berkembangnya praktik akuntansi forensik di Indonesia. Pengungkapan kasus Bank Bali merupakan contoh keberhasilan akuntansi forensik di mana auditor PwC berhasil menunjukkan aliran dana yang bersumber dari pencairan dana penjaminan Bank Bali.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008