Jakarta (ANTARA) - Penurunan nilai ekspor yang dialami Indonesia pada September 2019 dipengaruhi oleh fenomena ketidakpastian global yang juga memiliki dampak signifikan baik kepada permintaan maupun harga sejumlah komoditas.

"Situasi perekonomian global masih diliputi ketidakpastian, perang dagang masih berlangsung serta harga komoditas masih berfluktuasi," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, sejumlah komoditas pada September 2019 ini yang meningkat dibanding bulan sebelumnya antara lain nikel, perak, coklat, seng, timah tembaga, alumunium, dan emas. Sedangkan komoditas yang mengalami penurunan harga adalah minyak sawit, yang berperan besar bagi ekspor nasional.

Sebagaimana diketahui, BPS melansir neraca perdagangan RI pada September 2019 mengalami defisit sebesar 160 juta dolar dengan nilai ekspor 14,10 miliar dolar AS dan impor 14,26 miliar dolar. Nilai ekspor tersebut menurun 1,29 persen dibanding ekspor Agustus 2019, demikian juga jika dibanding September 2018 menurun 5,74 persen.

Penurunan ekspor tersebut disebabkan antara lain oleh menurunnya ekspor nonmigas 1,03 persen m-o-m, yaitu dari 13,4 miliar dolar AS pada Agustus 2019 menjadi 13,26 miliar dolar AS pada September 2019. Demikian pula ekspor non migas turun 5,17 persen dari 875,3 juta dolar pada Agustus menjadi 830,1 juta dolar pada September.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-September 2019 mencapai 124,17 miliar dolar AS atau menurun 8,0 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, demikian juga ekspor nonmigas mencapai 114,75 miliar dolar AS atau menurun 6,22 persen. Penurunan terbesar ekspor nonmigas September 2019 terhadap Agustus 2019 terjadi pada komoditas perhiasan/permata sebesar 272,4 juta dolar (32,6 persen).

Baca juga: Neraca perdagangan September 2019 defisit 160 juta dolar AS

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa Indonesia harus meningkatkan investasi terutama foreign direct investment (FDI) sebab neraca transaksi berjalan masih defisit yaitu 3 persen dari PDB sampai kuartal II-2019.

“Kenapa sih Indonesia butuh investasi? Jawabannya simple karena negara kita masih tumbuh dan ballance of trade kita belum cukup untuk membuat current account tidak defisit,” katanya di Jakarta, Kamis (10/10).

Menurutnya, FDI adalah pembiayaan CAD yang paling baik dibandingkan cara lainnya yaitu portofolio sebab jika melalui portofolio sering kali fluktuatif karena mudah terpengaruh terhadap kondisi dalam negeri.

Di sisi lain, Bambang menuturkan saat ini daya saing ekonomi global Indonesia sedang melemah karena kebijakan terkait investasi yang masih rumit dan kurang ramah seperti adanya tumpang tindih aturan di Kementerian/Lembaga yang menyebabkan minat investor untuk berinvestasi ke Indonesia kecil.

Baca juga: Ekspor dan investasi melambat, pertumbuhan ekonomi hanya 5,05 persen

Sementara itu, ujar Kepala Bappenas, negara-negara di Asia dan seluruh dunia sedang berlomba dan sangat agresif dalam menawarkan berbagai kemudahan penanaman modal sehingga bisa mendatangkan para investor.

Ia mencontohkan seperti Meksiko yang sedang berusaha keras menarik investasi dari Amerika, Eropa Timur dan Afrika yang mengincar investasi dari Eropa Barat, serta Thailand dan Malaysia yang terus menyediakan berbagai hal menarik bagi investor.

Bambang melanjutkan, Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam hal menarik investor tersebut sebab investasi merupakan sumber inflow yang akan memperkuat perekonomian sehingga pemerintah harus terus membuat kebijakan yang ramah terhadap investor.

Terkait dengan potensi resesi global, Kementerian Perindustrian juga telah berencana menghapus beberapa regulasi yang menghambat investasi dan ekspor sebagai salah satu upaya mengantisipasi resesi global yang diprediksi banyak pihak datang dalam waktu dekat.

Baca juga: BPS: Ekspor nonmigas 13 sasaran tujuan utama naik 13 persen
Baca juga: Ekspor Indonesia April 2019 turun 10,80 persen

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019