Pandangan kami, pertumbuhan ekonomi kita kualitasnya tidak optimal
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menduga bahwa adanya pelemahan daya beli masyarakat dan industri menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit pada September 2019 yaitu mencapai 160 juta dolar AS.

“Kami menduga adanya pelemahan dalam daya beli masyarakat karena ekonomi kita selama ini dipacu oleh konsumsi rumah tangga, kalau konsumsi turun impact-nya akan terjadi penurunan daya beli,” katanya saat ditemui di Hotel RitzCarlton, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Rupiah sore anjlok 26 poin, dipicu defisit neraca perdagangan

Menurutnya, laju impor memang lebih tinggi dibandingkan ekspor namun jika dibandingkan bulan sebelumnya kinerja impor dan ekspor justru sama-sama mengalami penurunan terutama pada sektor bahan baku dan barang modal yang menjadi kebutuhan industri.

“Poinnya adalah kalau impor turun secara keseluruhan apalagi impor bahan bakunya, berarti memang ada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan yang kami khawatirkan adalah turunan pada daya beli,” ujarnya.

Selain itu, Hariyadi menuturkan defisit juga terjadi karena kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum optimal dan pemerintah belum mampu menciptakan pemerataan ekonomi sehingga impor yang ada hanya tinggi di sektor-sektor yang bukan menjadi kebutuhan masyarakat umum.

“Pandangan kami, pertumbuhan ekonomi kita kualitasnya tidak optimal. Dalam arti yang menikmati pertumbuhan ini hanya kelas menengah atas, sedangkan menengah bawah sebetulnya mereka dalam kondisi yang tertekan,” katanya.

Baca juga: Apindo: Fokus kembangkan industri hulu, tekan defisit neraca dagang

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja mengatakan bahwa industrialisasi di hulu menjadi salah satu kunci menekan defisit neraca perdagangan agar tidak banyak bergantung dengan impor.

Shinta menyebut saat ini bahan baku dan bahan penolong sekitar 70 persen masih didominasi impor sehingga melalui industrialisasi di hulu kebutuhan impor bahan baku dan bahan penolong bisa ditekan.

“Sebenarnya minat banyak, sekarang bagaimana membuat itu (industrialisasi) terjadi. Kembali ke aturan main, jika pasar ada, negara tujuan pasar ada, kita mesti permudah bagi pelaku usaha untuk impor dan ekspor karena kalau mau ekspor lebih besar perlu tetap impor,” kata Shinta.

Berdasarkan data dari BPS, neraca perdagangan RI pada September 2019 mengalami defisit sebesar 160 juta dolar dengan nilai ekspor 14,10 miliar dolar AS dan impor 14,26 miliar dolar.

Baca juga: Neraca perdagangan September 2019 defisit 160 juta dolar AS

"Kita simpulkan pada bulan September 2019 terjadi defisit sebesar 0,16 miliar dolar AS. kalau kita bandingkan year-on-year (y-o-y), posisi bulan September tahun 2018 lalu masih surplus 0,346 juta dolar AS,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Selain itu, nilai ekspor Indonesia Januari-September 2019 mencapai 124,17 miliar dolar AS atau menurun 8,0 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, demikian juga ekspor nonmigas mencapai 114,75 miliar dolar AS atau menurun 6,22 persen.

Sedangkan untuk impor Indonesia pada September 2019 mencapai 14,26 miliar dolar AS atau naik 0,63 persen dibanding Agustus 2019, namun nilai tersebut diketahui mengalami penurunan 2,41 persen bila dibandingkan nilai impor September 2018.

Baca juga: Pemerintah perlu siapkan strategi besar antisipasi perang dagang

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019