Jakarta (ANTARA) - Pada Pemilihan Presiden 2019, rakyat kembali mempercayakan suaranya kepada Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan jabatannya pada periode kedua, 2019—2024.

Pada periode ini, Presiden Jokowi akan didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ma'ruf menggantikan posisi Jusuf Kalla yang telah mengakhiri masa jabatan dengan berakhirnya periode pertama pemerintahan Jokowi.

Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-Ma'ruf tentunya juga menyampaikan janji politik yang termaktub dalam visi dan misi untuk menyakinkan rakyat.

Janji tersebut kembali dipertegas Jokowi dalam kegiatan bertajuk Visi Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Minggu (14-7- 2019).

Baca juga: Jokowi: Indonesia bisa jadi salah satu negara terkuat di dunia

Pengamat politik sekaligus CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa masa jabatan yang akan dimulai dari 20 Oktober 2019, pascapelantikan, akan menjadi periode pemungkas bagi Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, tentunya menjadi waktu untuk melunasi janji politik.

"Artinya, kemajuan Indonesia nanti sangat ditentukan keberhasilan Pak Jokowi merealisasikan janji kampanye," kata Pengamat politik sekaligus CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali.

Secara garis besar, Alvara Research mencatat visi yang ditonjolkan oleh Jokowi pada periode keduanya berbeda dengan sebelumnya yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur. Kali ini, fokus Jokowi pada peningkatan sumber daya manusia.

Untuk infrastruktur, Presiden sudah berbuat banyak pada periode pertama dan progresnya cukup positif, tinggal menuntaskannya saja pada periode kedua.

Sementara itu, peningkatan sumber daya manusia, Presiden Jokowi baru akan memulai pada periode kedua. Oleh sebab itu, banyak yang harus dipastikan demi melunasi janjinya tersebut.

Apalagi, peningkatan SDM itu juga sejalan dengan tantangan yang akan dihadapi Indonesia 5 sampai 10 tahun ke depan. Mayoritas rakyat Indonesia berada pada rentang umur remaja yang masih duduk di bangku pendidikan.

Baca juga: Yunarto WIjaya: Pidato Jokowi tegaskan akan berani ambil kebijakan

Pemerintahan Jokowi harus memiliki program dan target terukur, mulai dari target 100 hari, satu, dua, dan tiga tahun sampai target satu periode masa jabatan untuk memastikan visi tersebut benar-benar terealisasi sesuai yang dijanjikan.

Berbicara program dan target tentunya, kata Hasanuddin, tidak lepas dari siapa sosok yang akan membantu presiden di dalam kabinet.

Untuk itu, susunan dan komposisi kabinet harus tepat, memiliki kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas agar mampu mendukung serta melakukan percepatan terhadap visi yang telah disampaikan Presiden Jokowi.

Karena Presiden ingin membangun SDM, visi Indonesia maju bisa terlaksana, serta kemungkinan beberapa tantangan seperti resesi global yang bisa mengganggu visi, Jokowi harus memastikan pos menteri pendidikan, kesehatan, dan ekonomi punya kapabilitas, profesional, dan kompeten.

Menurut Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, menteri kabinet Presiden Jokowi haruslah sosok eksekutor sejati.

Menteri yang ditunjuk Jokowi harus orang yang memahami masalah riset dan inovasi serta mampu mengatasi masalah, memutuskan dengan tepat, dan kuat mengeksekusi hasil keputusan itu.

Guru Besar LIPI Siti Zuhro mengharapkan Presiden Jokowi memperbanyak menteri dari kalangan profesional dibandingkan dari partai politik dalam penyusunan Kabinet Kerja Jilid II.

"Kabinet pada periode kedua ini Jokowi harus profesional dan tak terbebani kepentingan politik sempit," kata Siti.

Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat memberi sinyal bahwa porsi untuk menteri dari kalangan profesional adalah 55 persen, sedangkan kalangan parpol 45 persen.

Baca juga: Presiden Jokowi diharapkan perbanyak menteri dari kalangan profesional

Baca juga: Ketua DPR berharap Presiden Jokowi pilih menteri yang mau bekerja sama

Salah satu keuntungan kalangan profesional, kata Siti, yakni sosok yang akan mengemban amanah nantinya akan lebih loyal kepada Presiden sehingga tidak ada tarik-menarik politik.

"Loyalitasnya lebih ke presiden. Dan tarik-tarikan politik dari partai kurang atau tak ada, karena bukan kader," ucap Siti.

Kabinet ke depan harus menyesuaikan dengan kebutuhan Indonesia yang sedang menghadapi tantangan, seperti masalah ekonomi global.

Menteri-menteri yang direkrut mesti orang yang berkompeten dan profesional agar mereka mampu melakukan inovasi-inovasi yang bermanfaat. Selain itu, para menteri ini juga bisa fokus melaksanakan tugasnya karena tanpa beban politik.

"Dibutuhkan menteri-menteri yang fokus melaksanakan tugasnya dan mengedepankan kepentingan negara," ujarnya.

Tantangan

Pemerintahan Jokowi periode kedua ini bukan tanpa tantangan jika melihat dari sisi partai politik dan parlemen mungkin tantangan bukan berasal dari sana karena hampir seluruh parpol dan parlemen berada di sisi Jokowi.

Hal itu malah akan memudahkan pemerintahan untuk mendapatkan lampu hijau dalam berbagai kebijakan, anggaran, atau peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan.

Tantangan kali ini bukan dari sisi itu, Alvara Research menilai tantangan akan berasal dari faktor eksternal dan sosial. Tantangannya adalah soal kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Bahkan, Hasanuddin Ali, ada beberapa pengamat ekonomi yang mengatakan akan terjadi resesi.

Dari sisi sosial, terdapat persoalan tingkat kepuasan yang rendah dari publik terhadap beberapa kinerja roda pemerintahan Jokowi-JK.

Soal masyarakat sipil ini yang perlu diyakinkan pemerintah lagi bahwa pemerintah sebenarnya berpihak pada kepentingan masyarakat secara umum.

Sementara itu, Lembaga independen Sinergi Nawacita Indonesia (SNCI) memperkirakan persoalan ekonomi dan radikalisme yang akan menjadi tantangan serius pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Menurut Ketua Umum SNCI Suryo Atmanto, tantangan ekonomi dan radikalisme akan lebih kuat daaripada periode pertama pemerintahan Jokowi.

Baca juga: Mahasiswa STAI Latansa Mashiro perkuat Pancasila cegah radikalisme

Di sektor ekonomi, misalnya, Indonesia dalam 5 tahun terakhir mengalami defisit ganda, yakni defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan disertai rendahnya pertumbuhan ekonomi yang secara kumulatif akan membentuk krisis ekonomi merayap.

Menurut dia, 16 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada periode 2014—2019 tidak mampu menahan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Laporan World Economic Forum (WEF) 2019 daya saing global Indonesia di antara 141 negara berada di posisi 50, atau turun lima peringkat dari posisi 2018.

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, daya saing global Indonesia berada di peringkat keempat, kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Empat parameter yang mendasari penilaian WEF, yakni iklim perekonomian, kondisi pasar, kualitas SDM, dan ekosistem inovasi yang dilengkapi 12 indikator dan 112 subindikator.

Baca juga: Sri Mulyani sebut akan gunakan instrumen fiskal tekan defisit

Dalam hal ini, SNCI berpendapat bahwa empat parameter, 12 indikator, dan 112 subindikator dari WEF perlu terintegrasi dalam desain Kabinet 2019—2024.

Dalam persoalan radikalisme, menurut survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2017, sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi tertarik dengan radikalisme.

Sementara itu, Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2018, menempatkan Indonesia pada posisi ke-42 dari 138 negara.

Posisi Indonesia cukup rawan. Sebagai perbandingan dengan Irak dan Afghanistan berada di posisi satu dan dua, sedangkan Somalia posisi lima, Filipina yang dipengaruhi oleh konflik Mindanao berada di posisi 10.

SCNI berpendapat bahwa kedudukan BNPT perlu ditingkatkan menjadi semacam Badan Keamanan Nasional Indonesia (BKNI).

Visi Indonesia

Presiden pada tanggal 14 Juli 2019 telah menyampaikan visi yang bertajuk Visi Indonesia. Visi dan misi pertama yang diucapkan adalah akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur negara. Jokowi menyebut bahwa infrastruktur-infrastruktur besar telah dibangun.

Ke depan, kata dia, pemerintah akan melanjutkan pembangunan infrastruktur itu dengan lebih cepat dan menyambungkan infrastruktur-infrastruktur besar, seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat, industri kecil, ekonomi khusus, persawahan, perkebunan, tambak perikanan, dan pariwisata.

Janji atau visi dan misi Jokowi yang kedua adalah soal pembangunan SDM sebagai kunci Indonesia maju pada masa depan.

Titik dimulainya pembangunan SDM adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, sejak hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak-anak sekolah. Hal inii merupakan umur emas untuk mencetak manusia Indonesia yang unggul ke depan.

"Ini yang harus dijaga betul, jangan sampai ada stunting, jangan sampai ada kematian ibu, kematian bayi yang meningkat, tugas besar kita ada di situ," kata Jokowi.

Selain kesehatan, SDM, Jokowi juga menyinggung soal kualitas pendidikan yang akan terus ditingkatkan. Pada masa kepemimpinan periode keduanya ini, Jokowi akan membangun lembaga manajemen talenta, vokasional training, dan vokasional school.

Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan mengidentifikasi, memfasilitasi, dan memberikan dukungan pendidikan dan pengembangan diri bagi talenta-talenta anak bangsa. Pasalnya, anak bangsalah yang akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan Indonesia.

"Kita akan menyiapkan lembaga-lembaga khusus yang mengurus manajemen talenta ini. Kita akan mengelola talenta-talenta yang hebat yang bisa membawa negara ini bersaing secara global," tambahnya.

Baca juga: Dukung visi presiden, Mendagri sosialisasi hingga ke kepala desa

Presiden yang juga kakek dari Jan Ethes ini mengundang investasi yang seluas-luasnya adalah kunci dari membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya.

"Jangan ada yang alergi terhadap investasi karena dengan cara ini lah lapangan pekerjaan akan terbuka yang sebesar-besarnya," ujarnya.

Demi tercapainya tujuan ini, segala penghambat investasi harus dipangkas, baik proses perizinan yang lambat, berbelit-belit, terlebih yang mensyaratkan pungutan liar (pungli).

"Apalagi yang ada punglinya, hati-hati, hati-hati ke depan akan saya pastikan, akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek, dan akan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya," ucap Jokowi dengan tegas.

Pada janjinya yang keempat, Jokowi mengatakan sangat penting bagi Indonesia untuk mereformasi birokrasi berbagai lembaga agar menjadi makin sederhana dan lincah.

Kecepatan birokrasi dalam melayani dan memberikan izin, kata dia, menjadi kunci reformasi birokrasi.

Perubahan pola kerja zaman dahulu yang linier, monoton, dan terjebak pada zona nyaman, menurut Jokowi adalah "penyakit".

Ke depannya Jokowi akan mendorong lembaga-lembaga yang menuntut para pekerjanya menjadi gesit dan cepat beradaptasi terhadap perkembangan zaman demi membangun Indonesia yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif.

Baca juga: BPPT: SDM unggul tingkatkan inovasi berdaya saing

"Ini juga hati-hati, kalau pola pikir, kalau mindset birokrasi tidak berubah, akan saya cek sendiri, akan saya kontrol sendiri, begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif, saya pastikan akan saya pangkas dan akan saya copot pejabatnya," ujarnya disambut seru sorakan masyarakat di dalam gedung yang menonton.

Visi dan misi terakhir yang disampaikan adalah mengenai penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus fokus dan tepat sasaran. Setiap rupiah yang keluar dari APBN akan ia pastikan harus memiliki manfaat bagi ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.

"Namun, perlu saya ingatkan bahwa mimpi-mimpi yang besar hanya bisa terwujud jika kita bersatu, jika kita optimistis, jika kita percaya diri dan berani menghadapi tantangan-tantangan kompetisi global, harus berani, kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia," kata Jokowi.

Ia lantas menegaskan, "Jangan pernah ragu untuk maju karena kita mampu jika kita bersatu."

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019