Jakarta (ANTARA) - Partai NasDem menyebutkan tentang pentingnya pendekatan lunak atau "soft approach" dalam penanganan terorisme, khususnya di Indonesia.

Wakil dari Fraksi Partai NasDem Willy Aditya mengatakan hal itu saat menghadiri Sidang ke-141 Parlemen Dunia  yang berlangsung di Berlgrad, Serbia, Selasa (15/10).

Baca juga: Ma'ruf minta penanganan radikalisasi dan terorisme tidak represif

Baca juga: Indonesia-Belanda bahas penanganan mantan simpatisan ISIS di Suriah


Sidang parlemen dunia itu membahas berbagai isu, salah satunya adalah isu perdamaian dan keamanan internasional (peace and internasional security). Salah satu yang menjadi sorotan dalam isu tersebut adalah mengenai terorisme.

Menurut Willy, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, terorisme masih menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.

"Terakhir kasus yang menimpa Menko Polhukam kami, Bapak Wiranto, di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda, tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani," kata Willy.

Baca juga: BNPT beri masukan kepada Jokowi soal penanganan terorisme

Merujuk berbagai laporan yang ada, kata dia, kawasan Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme. Pasca kalahnya ISIS di Suriah, banyak para kombatannya terutama yang berasal dari Asia, menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka.

"Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya," katanya.

Oleh karena itu, kata Lulusan Cranfield University bidang Defends Studies ini, pentingnya pendekatan lunak dalam penanganan aksi terorisme. Salah satu bentuknya adalah tindak pencegahan yang dipayungi oleh undang-undang.

Ia menambahkan, pasca pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini.

"Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, dia bisa langsung ditindak," ucapnya.

Hal itu yang membedakannya dengan payung hukum sebelumnya, di mana Densus 88 Antiteror baru bisa menindak ketika tindakan teror terjadi.

Baca juga: Kemlu dan BNPT bekali diplomat informasi penanganan terorisme di Indonesia

Dengan payung hukum tersebut Densus 88 juga telah melakukan penangkapan terhadap anggota jaringan kelompok teror di berbagai wilayah di Indonesia.

Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.

"Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dan dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror," papar Willy.

Tidak berhenti di situ, adanya ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi, maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan program kontra radikalisme.

"Jadi, mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana," tuturnya.

Selain terorisme, isu lain yang mengemuka dalam agenda tersebut adalah mengenai senjata nuklir dan "money laundry".

Sidang ke-141 Parlemen Dunia di Belgrad yang menghadirkan anggota parlemen dari seluruh dunia itu akan berakhir pada Kamis (17/10).

Baca juga: TNI harus dilibatkan atasi aksi teroris

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019