Jakarta, (ANTARA News) - Jauh sebelum Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim (ICIS) III digelar di Jakarta akhir Juli lalu, Sekertaris Jenderal ICIS yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan bahwa tujuan Konferensi ICIS III kali ini adalah untuk mengurai akar-akar konflik yang terjadi di dunia Islam. Menurut Hasyim, ICIS III bertujuan membantu menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia melalui diskusi yang melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan sejumlah cendekiawan muslim. "ICIS tidak berambisi menyelesaikan konflik itu. Tujuan utama kesamaan visi dan pandangan. Setiap yang memandang selama ini didahului kepentingan. Agar Islam bisa menata diri dan tidak masuk ke area konflik," kata Hasyim. Setelah pelaksanaan konferensi tiga hari pada 29 Juli - 1 Agustus 2008, para ulama merumuskan hasil perundingannya dalam "Pesan Jakarta" yang berisi 13 butir. Butir ketiga dalam "Pesan Jakarta" itu menyebutkan bahwa para ulama dan cendekiawan muslim sepakat jika akar konflik dan ketegangan bukanlah faktor agama, melainkan sejumlah faktor yang ada di masyarakat dan faktor dari luar antara lain eksploitasi politik, sosial dan ekonomi. Kesimpulan yang menyebutkan bahwa akar konflik di dunia Islam adalah faktor dari luar negeri atau pihak barat boleh jadi terdengar klise. Namun, sejumlah ulama dan cendekiawan muslim --yang secara langsung terlibat dalam konflik-- yang ditemui di sela-sela acara jauh hari sebelum "Pesan Jakarta" disepakati, mengamini hal itu dan fakta sejarah menyebutkan bahwa pengaruh negara-negara barat memang hampir selalu terdengar dalam setiap konflik, untuk alasan apapun juga. Ulama besar Iran Ayatollah Mohammad Ali Taskhiri menunjuk faktor eksternal sebagai penyebab konflik di dunia Islam. Ulama besar ini merujuk pada segala ketegangan sebelum abad 19. "Sebab utama dan terbesar munculnya konflik di dunia Islam adalah faktor eksternal atau pihak barat. Kita bisa melihat ke abad 19 ketika negara-negara barat menjajah negara-negara muslim dan menguras sumber daya alam serta meninggalkan rakyat muslim tetap bodoh," katanya. Kemudian, lanjutnya, pascakemerdekaan ternyata para penjajah itu juga tidak serta merta mencabut pengaruhnya dengan tetap mencampuri urusan dalam negeri negara-negara tersebut entah dari segi politik maupun ekonomi. "Akibatnya faktor eksternal tetap berperan penting dalam konflik," ujarnya. Hal senada juga dikemukakan oleh ulama dari Somalia Ali Mahmoud Hassan, yang menyoroti ketidakpedulian bangsa barat terhadap konflik Palestina sebagai suatu standar ganda. Sejumlah tokoh politik dan ulama Sudan --negeri yang selama beberapa tahun terakhir dikoyak perang saudara-- justru menunjuk pers barat sebagai salah satu penyebab ketegangan di Sudan tampak tidak berakhir. "Barat sengaja menciptakan sengketa di Darfur, karena Darfur kaya sumberdaya alam. Tidak benar jika kemelut di Darfur akibat sengketa suku dan agama, karena seluruh penduduk Darfur beragama Islam," kata Syeh Umar Idris Hadroh, ulama dari Kementerian Wakaf Sudan melalui penerjemah. Menurut Ketua Majelis Dakwah Islam Sudan itu, barat --terutama kalangan medianya-- gencar melakukan propaganda memecah belah rakyat Darfur, sekalipun rakyat Darfur --baik penduduk setempat maupun suku pendatang-- hidup berdampingan dengan damai. Sementara itu, jurubicara urusan luar negeri Kementerian Wakaf Sudan Alfatih Mukhtar menegaskan bahwa keadaan Sudan tidak seburuk yang diberitakan oleh media internasional. Keberhasilan pemilihan umum di Sudan membawa Sudan ke masa lebih demokratis, karena pemerintah saat ini terdiri atas partai majemuk. Oleh karena itu, tambah dia, konferensi ICIS III penting bagi Sudan sebagai ajang memperkenalkan Sudan baru kepada negara muslim lain, apalagi di tengah perkembangan isu penangkapan Presiden Sudan Omar Bashir oleh Mahkamah Internasional. Pada kesempatan itu, tiga tokoh tersebut juga membantah keberadaan milisi Janjaweed. Menurut mereka, milisi Janjaweed --yang keji-- adalah rekaan Barat untuk menjatuhkan Sudan. "Janjaweed tidak ada hubungannya dengan negara. Tidak ada Janjaweed," katanya. Pada kesempatan yang sama ulama besar Suriah, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa akar konflik di Suriah adalah keberadaan Israel yang didukung negara-negara barat. Solidaritas Islam Sekalipun kompak menunjuk faktor luar negeri sebagai akar konflik di dunia Islam, namun sejumlah ulama juga sepakat jika faktor internal memainkan peran yang tidak kurang pentingnya. Menurut Taskhiri, faktor luar negeri dapat mudah masuk karena keluguan dan kebodohan bangsa-bangsa Islam yang menerima begitu saja semua pengaruh itu. Sementara itu Ali Mahmoud Hassan menilai konflik tak berujung di sejumlah negara Islam juga disebabkan perbedaan pandangan masing-masing negara. "Antar negara-negara muslim pada umumnya tidak mempunyai kesamaan pandangan atau kesatuan langkah sehingga tiap-tiap negara berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan negaranya masing-masing," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, pada umumnya lembaga agama di negara muslim tidak memperoleh dukungan dari pemerintahnya sehingga tidak berkembang Sedikit berbeda pandangan, Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda justru menilai bahwa peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh para cendekiawan muslim dalam mewujudkan perdamaian di dunia muslim. "Tidak ada perdamaian tanpa pembangunan," katanya sekalipun tidak menafikan bahwa ada sejumlah konflik yang dipicu oleh faktor eksternal, seperti kasus Palestina. Menurut Hassan, dunia Islam harus bekerja keras menghapus ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dapat memicu konflik di antara umat, orang-orang memiliki keyakinan berbeda serta antara pemerintah dan masyarakat. Apalagi, lanjutnya, hanya ada sembilan negara di dunia Islam yang termasuk dalam kelompok negara maju, sementara puluhan sisanya sibuk berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, lanjut dia, Pemerintah Indonesia mendorong solidaritas dunia Islam untuk meningkatkan kesejahteraan warga muslim di seluruh dunia dan menghindari konflik. "Sebagian dari negara-negara di dunia Islam menikmati keuntungan yang luar biasa, akumulasi kekayaan yang begitu besar akibat kenaikan harga minyak yang tinggi, seharusnya kekayaan itu bisa dibagi kepada negara-negara Islam lain yang membutuhkan," ujarnya. Menlu mengatakan pembagian itu bukan sekedar dalam bentuk sedekah atau amal tetapi lebih pada mendorong investasi di negara sesama berpenduduk muslim sehingga dapat turut memajukan ekonomi negara-negara muslim. Namun, lanjutnya, negara-negara berkembang dan terbelakang hendaknya juga harus menyiapkan diri untuk lebih kompetitif agar modal asing termasuk dari negara-negara Timur Tengah yang kekayaannya melimpah dapat masuk. "Karena itu harus ditingkatkan daya saing, karena mereka (negara-negara kaya) tidak akan serta merta berinvestasi kecuali memang menguntungkan," ujarnya. Sebelumnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan 40 persen populasi muslim dunia masih buta huruf dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS per hari. Negara muslim juga hanya menyumbang tujuh persen nilai perdagangan dunia. Sebagai kelompok penyuplai 70 persen energi dunia dan 40 persen bahan mentah, menurut Presiden Yudhoyono, negara-negara muslim seharusnya dapat bersatu dan berbuat lebih banyak untuk dunia. Di antaranya adalah menjaga harmoni dan perdamaian, bukan justru menjadi pusat lokasi konflik dunia. Sementara itu di saat para ulama Islam tengah sibuk menggali akar konflik, dua pemimpin organisasi internasional yang turut menyumbangkan pendapatnya dalam ICIS III, Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan justru muncul dengan teori yang berbeda. Ban Ki-moon secara tegas mengatakan bahwa konflik dapat dicairkan hanya melalui solusi politik. Menurut Ban, jika PBB tidak mampu memberikan penyelesaian politik maka akan terjadi krisis kemanusiaan dan keperluan penempatan penjaga perdamaian tanpa batas waktu yang jelas yang tentunya memerlukan dukungan tidak hanya dari pihak yang bertikai namun juga negara-negara di kawasan dan negara-negara kuat. Sedangkan Surin Pitsuwan mengatakan jalan rekonsiliasi antara dunia Islam dengan barat akan melalui Asia Tenggara. "Saya percaya bahwa jalan rekonsiliasi antara dunia Islam akan melalui kawasan Asia Tenggara karena kami belajar hidup dalam keberagaman," katanya. Menurut dia, selama ini masyarakat Asia Tenggara telah terbukti mampu hidup bersama dalam keberagaman. Surin merujuk pada keberhasilan ASEAN menjaga stabilitas di kawasan selama 40 tahun terakhir. "Masyarakat Asia Tenggara hidup belajar dalam keberagaman, dalam perbedaan dan saya kira masyarakat muslim di Asia Tenggara mampu menerima segala hal jauh lebih baik dari yang lainnya," ujar mantan Menlu Thailand itu. Bagi Surin yang dibesarkan di daerah konflik Thailand Selatan, masyarakat muslim Asia Tenggara terbukti mampu menghadapi globalisasi. Menunjuk pihak barat sebagai akar konflik di dunia Islam boleh jadi memang klise, menyeru solidaritas dunia Islam boleh jadi juga tidak mudah, menghentikan konflik di dunia Islam apalagi hampir mustahil tanpa introspeksi diri dan kebulatan tekad mengingat sejumlah konflik yang ada bahkan telah berlangsung lebih 40 tahun terakhir. Namun setidaknya hampir semua kartu telah tergelar di meja --akar konflik telah diketahui, cara penyelesaian pun sudah--, jadi dunia hanya perlu menanti bagaimana setiap negara muslim memainkan kartunya masing-masing untuk membawa perdamaian di dunia Islam sesuai paradigma Islam yang Rahmatan lil Alamin. Maka, mari menanti suatu gebrakan nyata di luar meja perundingan.(*)

Oleh Oleh Gusti Nc Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008