Jakarta (ANTARA) - Mantan anggota parlemen Denmark, Ozlem Sara Cekic, menyebut budaya berdialog dan percakapan antar- manusia menjadi salah satu aspek penting dari demokrasi, namun kerap sulit untuk dilakukan. 

Dia mengatakan, dalam acara diskusi bertajuk "Secangkir Kopi, Secercah Toleransi untuk Empati" di Jakarta, Rabu, bahwa saat ini, banyak orang yang berpegang keras terhadap opini yang dipercayai dan tak memberi ruang untuk mempertimbangkan pandangan yang dianggap berseberangan, sehingga tak banyak dialog yang terjadi antara opini-opini yang berbeda. 

“Kita hanya bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran serupa dan tidak menghargai pemikiran orang lain. Kita tidak berusaha untuk berbicara dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Itu dapat merusak demokrasi yang sehat,” kata Ozlem. 

Percakapan yang dilakukan oleh orang-orang dengan pandangan yang berseberangan, menurutnya, bukan bertujuan untuk mengubah pandangan siapapun, namun untuk menerima keberagaman. 

Dalam semangat toleransi dan empati, Ozlem meyakini masyarakat harus menjaga keterbukaan pikiran akan pandangan-pandangan yang mungkin berbeda, bahkan berseberangan, dengan yang dimiliki. 

Dia pun menganggap keterbukaan dan penerimaan itu dapat mencegah penyebaran kebencian dan tindak kekerasan. 

“Kita harus berbicara dengan sebanyak mungkin orang, namun kita juga harus memastikan pikiran kita juga terbuka. Kebencian dan kekerasan hanya dapat dicegah melalui debat, percakapan yang kritis dan mendorong dialog yang tidak menjelekkan (demonize)orang lain,” paparnya. 

Ozlem telah menginisiasi gerakan #DialogueCoffee yang dia mulai beberapa tahun silam, sejak dia kerap mendapat surat-surat penuh ujaran kebencian, bahkan ancaman terhadap dia dan keluarganya, saat mulai menjabat sebagai anggota parlemen pada tahun 2007 . 

Pada tahun 2010, saat masih menjabat di parlemen, dia mulai mengajak para pengirim surat-surat tersebut untuk bertemu dan bercakap-cakap sembari menikmati segelas kopi dan hingga hari ini, Ozlem telah bertemu dengan kurang lebih 300 orang. 

Dari pengalamannya itu, Ozlem mengatakan dia belajar untuk tidak menilai seseorang hanya dari pandangan politik atau idealisme-idealisme yang dipegang, baik yang sejalan ataupun yang bertentangan dari apa yang dia percayai.

Baca juga: Dialog kebhinnekaan Ibu Shinta di Denmark
Baca juga: Bali Jadi Ikon Dialog Demokrasi Antarbangsa


Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019