Jakarta (ANTARA) - Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019, ANTARA akan menurunkan tulisan mengenai seputar pelantikan para presiden sejak masa Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Berikut seri pertama dari tiga seri tulisan.

Nama Soekarno akan selalu dikenang di benak seluruh rakyat Indonesia sebagai salah satu tokoh penting yang mempengaruhi perjalanan republik ini. Soekarno bersama Hatta adalah Presiden dan Wakil Presiden RI pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Dari berbagai sumber catatan sejarah, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, keduanya kemudian ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden RI dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlangsung di Jakarta. Kemudian pada 29 Agustus 1945, keputusan itu dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Nyaris tak ada gegap gempita pelantikan presiden dan wakil presiden pertama di sebuah negara yang baru lahir setelah usainya perang dunia II itu. Keduanya langsung bekerja karena berbagai masalah harus segera diselesaikan dan menjaga kelangsungan "bayi" Indonesia yang baru saja lahir itu.

Sebagaimana disampaikan dalam buku tentang Otto Iskandardinata, "Si Jalak Harupat: Biografi R Oto Iskandar Di Nata (1897-1945)" karya Nina Lubis, pengusulan Soekarno sebagai Presiden pertama RI terjadi di salah satu sesi persidangan PPKI. Salah satu anggota PPKI, Oto Iskandardinata yang berasal dari tatar Parahyangan kemudian mengusulkan agar pemilihan presiden dilakukan melalui mufakat, usulan itu disambut dengan baik oleh seluruh anggota PPKI.

Baca juga: Sebelum pelantikan, Jokowi akan terima tamu negara

Soekarno, dikemudian mengenang, dalam biografinya "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" yang ditulis Cindy Adams, karena tumpukan hal yang harus ia kerjakan bersama para founding fathers sebelum proklamasi dan segera setelah pembacaan proklamasi sedemikian banyak, ia tidak ingat siapa yang mencetuskan usulan agar dirinya menjadi Presiden pertama.

Kalimat yang diingatnya adalah seseorang itu, yang kemudian diketahui Oto Iskandardinata mengatakan,"Nah kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?"
Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Soekarno (tengah) berpidato setelah acara pelantikan di Bangsal Manguntur Tangkil, Kompleks Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta, 17 Desember 1949. ANTARA FOTO/IPPHOS/pras.


Tak ada upacara resmi, tidak ada ucapan selamat dari berbagai kalangan, Soekarno hanya mengenang, satu-satunya perayaan yang ia lakukan adalah makan siang secara sederhana, sendirian.

"Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama, sate ayam lima puluh tusuk," kata Soekarno mengenang masa-masa itu.

Hal yang sama juga terjadi ketika Soekarno memberitahu Fatmawati bahwa ia didaulat menjadi Presiden bagi negara yang baru saja merdeka itu. Uniknya, ia memilih dapur sebagai ruangan untuk memberitahu Ibu Negara pertama RI itu. "Di rumah aku memilih lingkungan dapur yang menyenangkan untuk menyampaikan keputusan yang menggoncangkan dunia kepada istriku dengan penuh kegembiraan."

Baca juga: Presiden-wapres terpilih diharapkan mampu membangun stabilitas politik

Menanggapi kabar dari suaminya, Fatmawati, kenang Soekarno, tidak melompat-lompat kegirangan. Dengan suara yang tenang, perempuan yang kini menjadi Ibu Negara itu mengatakan bahwa firasat tentang Indonesia yang akan dipimpin oleh Soekarno sudah diberitahukan oleh ayahanda Fatmawati, tiga bulan sebelum 18 Agustus 1945.

Ayahanda Fatmawati mengatakan "aku melihat pertanda secara kebatinan, bahwa tidak lama lagi ...dalam waktu dekat..anakku akan tinggal di Istana yang besar dan putih itu..."

Soekarno mengalami pelantikan sebagai Presiden dalam sebuah acara resmi pada 17 Desember 1949 di Gedung Siti Hinggil yang berada di Kraton Yogyakarta. Berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar, maka dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Pelantikan di Siti Hinggil dilakukan dalam sebuah rangkaian acara resmi yang dimulai pukul 10.00 WIB. Soekarno mengenakan pakaian seragam angkatan bersenjata RIS berwarna putih sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta mengenakan jas warna putih. Fatmawati dan Rachmi Hatta juga hadir mendampingi suami mereka.

Baca juga: Istana persiapkan akomodasi tamu negara saat pelantikan presiden

Setelah pengambilan sumpah jabatan yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, acara kemudian dilanjutkan dengan parade militer dan Soekarno-Hatta menerima penghormatan secara kemiliteran itu.
Presiden Soekarno (ketiga kanan) diambil sumpah jabatan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Kusumah Atmaja (kiri) saat acara Pelantikan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) di Bangsal Manguntur Tangkil, Kompleks Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta, 17 Desember 1949. ANTARA FOTO/IPPHOS/pras.


Sebagai kita ketahui, pada 1950, RIS kembali menjadi Republik Indonesia sebagaimana bentuk yang dicita-citakan saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan bertahan hingga saat ini.

Soekarno kemudian menjalankan masa pemerintahannya selama hampir satu dekade kemudian, melewati masa demokrasi liberal 1950 hingga 1959, kemudian demokrasi terpimpin hingga akhir 1967 sampai kemudian pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 diikuti dengan pergolakan politik, Soekarno resmi digantikan oleh Soeharto sebagai presiden pada tahun 1968.

Putra sang fajar, penyambung lidah rakyat dan sebutan Panglima Besar Revolusi, demikian Soekarno mendapatkan gelar selama masa kepresidenannya. Soekarno wafat pada 21 Juli 1970 di makamkan di Blitar dengan upacara pemakaman kenegaraan sesuai dengan kapasitasnya sebagai salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: KSP minta syukuran pelantikan presiden dilaksanakan secara sederhana

Bapak Pembangunan
Soekarno yang kehilangan kepercayaan politik dari sebagian besar rakyat dan kalangan elite akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965, kemudian harus menerima laporan pertanggungjawabannya di hadapan MPRS pada 1966 ditolak dan mendorong adanya perubahan kepemimpinan nasional.

Berdasarkan keputusan Sidang Istimewa MPRS yang dibuka pada 8 Maret 1967, Soeharto kemudian diberi mandat sebagai penjabat presiden yang berlaku hingga 5 Juli 1968. Dalam biografinya, "Soeharto : Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", ia sebenarnya masih berharap Soekarno bersedia memimpin Indonesia sebagai Presiden.

"Dalam kesempatan bertemu dengan Bung Karno saya menyampaikan harapan saya. Saya tekankan kepadanya bahwa mumpung saya masih sebagai pejabat presiden, saya mengharapkan Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini," kata Soeharto dalam buku yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.

Baca juga: KSP: Presiden arahkan syukuran pelantikan secara sederhana

Namun, menurut Soeharto, syarat yang diajukannya bahwa Bung Karno menyetujui pembubaran PKI dan mengutuk G.30.S tidak disetujui oleh Soekarno sehingga tidak terwujud harapan Soeharto.

Dalam Sidang Umum MPRS Maret 1968, akhirnya, mantan Panglima Kostrad itu kemudian dilantik dan dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia kedua pada 27 Maret 1968. Sidang Umum MPRS 1968 saat itu dipimpin oleh Ketua MPRS Abdul Haris Nasution.
Mayor Jenderal TNI Soeharto (kanan) mengucapkan sumpah dan janji jabatan di hadapan Ketua MPRS ketika dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di Jakarta, 12 Maret 1967. ANTARA FOTO/IPPHOS/pras.


Pelantikan Presiden kedua Republik Indonesia dilangsungkan pada pagi 27 Maret 1968 di Gedung MPR/DPR RI. Soeharto mengenakan jas dan menggunakan peci. Suasana pelantikan hampir sama dengan yang berlangsung beberapa tahun kemudian bahkan hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 2014.

Pelantikan berlangsung sekitar 40 menit dan setelah diambil sumpahnya, Soeharto kemudian menyampaikan pidato pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Di kemudian hari, Soeharto mengenang tentang pelantikannya sebagai Presiden menggantikan Soekarno. Dalam pidatonya ia mengemukakan adalah suatu kehormatan baginya untuk memegang amanah memimpin negara. Menurutnya cukup banyak masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa dalam beberapa tahun terakhir, namun bukan berarti demokrasi telah gagal.

"Kami hanya ingin mengulangi janji kami bahwa kami tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan majelis dan kami berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan janji itu," kata Soeharto dalam pidatonya.

Hari itu, Soeharto baru meninggalkan gedung MPR/DPR RI hampir lewat tengah malam. Ia mengingat di kemudian hari, datang sepucuk surat dari Soekarno yang saat itu sudah berada di Istana Bogor. Proklamator kemerdekaan RI itu menyampaikan selamat dan menyampaikan bahwa tidak ada keinginan dari dirinya untuk menjadi presiden kembali selain berkeinginan untuk tinggal di rumah pribadinya di Batu tulis Bogor. Dari titik itulah kemudian resmi masa orde baru dimulai.

Pemilu yang berlangsung pada 1971 berhasil membentuk MPR/DPR RI yang juga dilengkapi dengan utusan golongan dan fraksi ABRI. Sebagai hasil dari pemilihan 1971 kemudian berlangsung Sidang Umum MPR RI tahu 1973 dengan agenda mendengarkan laporan pertanggungjawaban Presiden dari 1966 hingga 1973.

Hal yang baru dari periode kedua masa jabatan Soeharto ini adalah pemilihan wakil presiden yang akan mendampingi hingga lima tahun mendatang. Dalam biografinya, Soeharto mengatakan kalangan wakil rakyat kemudian bertanya siapa yang diusulkan menjadi wakil presiden.

"Saya lihat di antara para pejuang-pejuang nasional kita yang ada waktu itu, yang rasanya masih bisa diterima oleh seluruh rakyat, terutama oleh MPR pada waktu itu, adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX," katanya.

Pada 23 Maret 1973 Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 1973-1978. Pelantikan dan pengambilan sumpah mandataris MPR tersebut melalui prosesi yang sama dengan lima tahun sebelumnya.

"Saya rasa hubungan saya dengan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX selama periode itu baik-baik saja. Baik sekali, harmonis tidak ada masalah," kenang Soeharto di hari-hari kemudian.

Pemilu kemudian dilangsungkan pada 1977. Sidang Umum MPR kemudian berlangsung pada 1978. Soeharto kembali didapuk menjadi Presiden untuk periode ketiga. Namun, kemudian timbul pertanyaan siapa sosok yang cocok menjadi Wakil Presiden. Soeharto mengakui ia menyebutkan beberapa nama, namun kemudian mengerucut pada Adam Malik yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua MPR RI.

"Saya mengucapkan sumpah jabatan dalam sidang yang dihadiri oleh 846 anggota MPR itu..saya berjanji akan melaksanakan GBHN dan semua TAP MPR dengan sekuat tenaga," janjinya.

Selanjutnya sebagai perjalanan sejarah yang kita pahami bersama, berturut-turut kemudian Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode keempat masa jabatan 1983 hingga 1988. Yang menarik, diakui Soeharto dalam biografinya ada empat nama yang "santer" digadang-gadang untuk menjadi wakil presiden, yaitu Adam Malik, Umar Wirahadikusuma, M Yusuf, Amirmachmud dan Jenderal Panggabean.

"Akhirnya pilihan jatuh ke Umar Wirahadikusumah. Kepercayaan rakyat kepada saya, saya terima. Tugas sebagai presiden saya pikul...."

Di tahun 1983 inilah kemudian Soeharto mendapat gelar Bapak Pembangunan yang dikukuhkan dalam Sidang Umum MPR 1983.
Presiden Soeharto bersama Wapres Adam Malik berfoto bersama dengan seluruh Menteri kabinet Pembangunan III dan Ketua Lembaga Tertinggi Negara di Istana Merdeka, 28 Februari 1983. ANTARA FOTO/Setneg/pras.


Memasuki masa kepemimpinan 1988-1993, Sidang Umum MPR RI kembali memilih dan melantik Soeharto menjadi Presiden untuk masa jabatan kelima. Yang menarik adalah tarik ulur siapa yang menjadi wakil presiden kemudian untuk mendampinginya.

Pak Harto, demikian ia biasa disapa, memegang prinsip bahwa pemilihan wakil presiden adalah kewenangan MPR RI sehingga seringkali ia menyerahkan kepada MPR siapa yang kemudian menjadi wakil presiden, meski diakuinya, pimpinan MPR selalu menanyakan pendapat pribadinya.

Calon wakil presiden kemudian muncul dua nama, Soedharmono dan HJ Naro. HJ Naro dicalonkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Sebagaimana diceritakan Soeharto, hingga detik-detik terakhir menjelang pelantikan Presiden dan pemilihan wakil presiden kedua nama itu masih menjadi calon wakil presiden.

Baca juga: Bingkai foto presiden dan wapres dijual beragam versi di Jaksel

Soeharto sendiri dalam memoarnya kurang sepakat bila pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara. Ia lebih memilih adanya musyawarah untuk mufakat. Pada akhirnya, Fraksi Persatuan Pembangunan menarik pencalonan HJ Naro dari bursa wakil presiden dan kemudian menyisakan Sudharmono sebagai calon tunggal. Maka pada 11 Maret 1988 untuk kelima kalinya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI/Mandataris MPR didampingi oleh Wakil Presiden Soedharmono hingga masa bakti 1993.
Presiden Soeharto dan Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie melihat senjata buatan dalam negeri produksi PT Persero Pindad di Bina Graha hari Senin (20/3/1989). ANTARA FOTO/N04/pras.


Sejarah kemudian mencatat pada Sidang Umum MPR 1993, pria kelahiran Desa Kemusuk, Bantul pada 8 Juni 1921 itu kemudian terpilih untuk masa bakti keenam dengan masa kerja 1993-1998 dengan wakil Presiden Try Sutrisno. Dalam Sidang Umum MPR RI 1998, Soeharto kembali terpilih untuk masa bakti 1998-2003 dengan wakil presiden BJ Habibie.

Namun, seakan sejarah kembali terulang, bagaimana kemelut politik melanda Indonesia dan mengakibatkan pergantian kepemimpinan nasional. Soeharto harus berhenti di masa jabatan ketujuhnya yang baru berjalan beberapa bulan. Pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie.

Titik itu yang kemudian menandai berakhirnya era orde baru dan memasuki era reformasi. Soeharto wafat pada 27 Januari 2008 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Astana Giribangun di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019