Musababnya adalah pengalaman kolektif para pelaku musik yang menjadi informan penelitian Yuka. Menurut mereka, saat "Rock Bergema" dimainkan di Pid Pub -- klub metal di kawasan Pondok Indah Jakarta yang hits di akhir 1980-an--, suasana berubah menjadi sakral.

"Seluruh penonton ikut bernyanyi bersama sambil mengepalkan tinju ke udara. Merinding, kata para informan yang sempat mengalami masa itu," tulis Yuka.

Harlan Boer, musisi yang juga pengarsip musik tak memungkiri kalau musik yang ada di era itu merupakan perpanjangan tangan dari musik yang sedang ramai di kancah rock internasional seperti Bon Jovi, Motley Crue, dan Guns N Roses.

"Itu hard rock masih besar, mungkin band-band yang besar di awal 1980-an yang sudah enggak kedengaran. Tapi yang rilis albumnya di 1980-an paruh kedua ya masih besar karena masih sangat produktif. Di Indonesia, yang membawakan cover version band seperti ini tentu banyak," kata Harlan.

Baca juga: Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer

Hal ini tak hanya dirasakan untuk subgenre hard rock. Thrash metal, subgenre dari metal dan rock dengan musik yang lebih rapat dan keras juga punya gaung yang cukup besar di dekade 1990-an.

Bahkan thrash metal sudah masuk ke kompilasi Log yang selama ini lebih kental dengan corak heavy metal dan hard rock. "Itu ada Valhalla di Kompilasi Festival Rock se-Indonesia keenam (1991)," ucap dia.

Harlan menilai kalau thrash saat itu memang menjadi ciri khas tersendiri sebagai rock yang berada di luar standar Log atau God Bless yang merilis "Semut Hitam" pada 1988.

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019