Teh organik produksi koperasi SJS itu diberi merek dagang, Lugu'stea.
Padang (ANTARA) - Angin berhembus lembut menyisir lereng-lereng tebing Gunung Talang (2.597 mdpl), turun hingga ke ladang dan perkebunan yang menghampar luas di kakinya. Perkebunan itu, kopi dan teh membentang seperti permadani hijau, sejauh mata memandang.

Pada akhir September yang basah, saat hujan bisa turun kapan saja, angin-angin nakal itu akan mengusik bulir air yang masih melekat di pucuk dedaunan hingga menetes ke tanah membentuk jalur berliku, seperti sejarah.

Sejarah, kata yang tidak bisa dilepaskan dari dua tanaman premium yang tumbuh di atas tanah vulkanis itu. Kopi adalah komoditas primadona dengan harga jual yang tinggi di Eropa dan Amerika pada pertengahan abad 19.

Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari perdagangan komoditas itu dengan merancang sistem tanam paksa kopi di Minangkabau pada 1847 hingga 1908.

Tidak kepalang penderitaan masyarakat Minangkabau oleh sistem itu. Bahkan menurut sejarawan Mestika Zed, saking kemaruknya Belanda atas kopi, semua hasil produksi petani harus diserahkan tanpa terkecuali.

Petani yang menanam kopi, tidak bisa merasakan nikmat seduhannya. Mereka hanya bisa meminum air rebusan dari daun kopi. Air kopi daun. Air Kawa. Begitu namanya.

Namun pada awal abad 20, sekitar 1920-an, pamor kopi meredup. Harga turun. Ditambah lagi, ladang-ladang kopi di Minangkabau terserang penyakit hingga produksi turun drastis.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengganti tanaman kopi dengan teh. Ribuan pohon kopi dibabat, diganti hamparan teh yang terbentang bak permadani hijau.

Baca juga: Kemenkop apresiasi koperasi yang aktif berkegiatan sosial

Lalu dimulailah masa kejayaan teh Sumatera, Teh hitam (Orthodoks), menggantikan kopi yang sebelumnya jadi primadona. Teh itu kemudian juga "melintasi" samudra, menjadi idola di negara-negara Eropa.

Sejarah kejayaan itu pula yang kini kembali coba dibangkitkan kembali oleh dua pemuda, Wahyu Nusa Lubis dan Ilham Yudha Putra. Mereka ingin teh Gunung Talang, Kabupaten Solok kembali mendunia, seperti kopi solok yang telah lebih dahulu bangkit mengulang sejarah keemasannya.

Mereka ingin, Solok tidak hanya dikenal oleh pecinta kopi dunia, tetapi juga oleh pencinta teh di dunia karena dua komoditas itu sama-sama memiliki kualitas premium.

Mereka ingin petani teh Gunung Talang bisa menikmati kesejahteraan lebih dari sebelumnya, dengan produk teh premium dari lahan mereka sendiri.

Mereka berdua menginisiasi terbentuknya kelompok tani dan koperasi yang mewadahi petani teh Gunung Talang pada 2015. Dua lembaga itu penting, karena skema bantuan pemerintah untuk mengatasi kesulitan modal tidak bisa pada masing-masing petani, tetapi harus melalui kelompok.

Wahyu mengakui, bantuan pemerintah menjadi elemen penting dalam upaya membangkit kejayaan teh Gunung Talang itu. Petani teh, rata-rata bukan orang yang punya modal besar sehingga banyak keterbatasan dan kendala yang sulit diselesaikan tanpa bantuan pemerintah.

Baca juga: Delapan koperasi di Cianjur uji coba sistem digital

Selama ini pucuk teh basah yang dipanen oleh perempuan-perempuan tangguh dari kaki Gunung Talang itu dikumpulkan dan dikirimkan ke PT Mitra Kerinci yang merupakan anak perusahaan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero).

Perusahaan itu bersama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kayu Aro adalah "raksasa" teh di Sumatera. Mereka mengelola sebagian besar hamparan kebun teh di Sumbar hingga Kerinci, Jambi.

Bermitra dengan perusahaan itulah yang selama ini memberikan nafas bagi petani Gunung Talang. Mereka bisa hidup dan menyekolahkan anak dari hasil panen yang ditampung perusahaan. Hal itu menjadi salah satu yang mereka disyukuri.

Namun Wahyu dan Yudha melihat peluang yang bisa membuat perekonomian petani itu bisa lebih maju, yaitu "menciptakan" teh yang mulai digemari di dunia, yaitu teh organik. Teh yang bebas dari bahan-bahan kimia sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi.

Persoalannya, mengubah kebiasaan masyarakat yang telah terbiasa menggunakan pupuk kimia bukanlah persoalan mudah. Apalagi mereka harus mencari pasar yang baru, selain bermitra dengan perusahaan.

Ilham Yudha Putra bersama organisasi nonpemerintah asal Belanda, SHGW Bio Tea Indonesia telah mencoba mengedukasi masyarakat pemilik kebun teh tentang potensi teh organik sejak 2008. Namun baru 2015 para petani itu terketuk sehingga dibuatlah kelompok tani dan Koperasi Sebelas Jurai Saiyo (SJS).

Baca juga: Asosiasi sebut industri teh Indonesia lesu

Mereka masuk dalam kepengurusan koperasi itu. Bersama-sama memproduksi teh organik yang telah tersertifikasi dari lembaga independen. Tidak saja teh hitam organik, kini mereka telah berhasil memproduksi teh putih dan teh hijau organik.

Koperasi SJS saat ini memiliki 93 petani sebagai anggota dengan luas lahan sekitar 114 hektare dan sedang dalam upaya perluasan. Namun dari 93 orang itu, hanya sekitar 33 anggota yang benar-benar aktif.

Teh organik produksi koperasi SJS itu diberi merek dagang, Lugu'stea. Teh organik tersebut mengandung antioksidan yang lebih tinggi daripada jenis lain. Ampas teh tersebut juga dapat diseduh kembali hingga maksimal tiga kali.

Saat ini untuk mendapatkan Lugu'stea, selain mendatangi sentra penjualan di Solok, peminat bisa mendapatkannya melalui sejumlah platform perdagangan elektronik dan media sosial.

Teh putih organik kemasan terkecil 125 gram dijual dengan harga mulai Rp125 ribu. Teh hitam yang pertama kali diproduksi Koperasi SJS dengan varian kemasan lebih banyak dijual mulai Rp50 ribu untuk kemasan 75 gram.

Pemasaran dari produk koperasi itu saat ini telah menyebar di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Bandung, Bali, Bogor, Semarang, serta beberapa daerah lainnya.
Produk teh itu sebagian besar dipesan oleh hotel dan cafe ternama.
Yudha menyebut teh organik menjadi komoditas yang makin diminati karena memiliki banyak manfaat kesehatan, seperti hanya teh hijau.

Walaupun sama-sama terbuat dari daun teh, teh hijau organik sebagian besar substansi pentingnya yang kaya manfaat akan tetap dipertahankan.

Kebalikannya terjadi pada jenis teh lain yang diproses secara fermentasi. Hal ini mengakibatkan rusaknya berbagai zat yang terkandung pada daun teh yang diproses dengan cara tersebut.

Manfaat lain dari teh organik, yakni dapat mencegah dan menurunkan tekanan darah tinggi, mencegah timbulnya kadar gula darah yang tinggi, menurunkan kadar kolesterol.

Lalu menurunkan resiko terkena berbagai penyakit hati, melindungi lever, mencegah hepatitis.
Teh organik juga dipercaya membantu menghalangi penyebaran virus HIV dan mengurangi bahaya merokok.


Butuh bantuan alat pengering teh

Meski mulai berproduksi tetapi Koperasi SJS masih kekurangan alat pengering teh. Alat itu dibutuhkan untuk mempercepat proses produksi sehingga biaya bisa dipangkas.
Ilham berharap pemerintah daerah bisa memberikan bantuan alat itu agar usaha koperasi itu bisa terus berkembang untuk mengembalikan kejayaan teh Solok.

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menyambut antusias tokoh-tokoh muda yang penuh inovatif hingga bisa menggerakkan roda perekonomian pada satu daerah seperti Wahyu dan Yudha.

Sekarang, menurutnya, sebagian besar generasi muda berharap bisa jadi PNS. Padahal peluangnya semakin lama semakin kecil. Padahal pula, pekerjaan bukan hanya PNS.

Sosok-sosok seperti Wahyu dan Yudha menurutnya patut menjadi contoh bagi generasi muda di Sumbar agar bisa memanfaatkan segala potensi yang ada untuk membuka lapangan pekerjaan.

Ia meminta dinas terkait seperti Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perdagangan dan Perindustrian mendukung penuh usaha-usaha yang benar-benar tumbuh dan bisa menggerakkan perekonomian masyarakat banyak seperti itu.

"Usaha bersama seperti koperasi dan UMKM harus menjadi prioritas untuk dibantu,"katanya.

Selain upaya bantuan alat, ia mengupayakan agar teh organik Solok itu bisa dibawa dalam pameran produk hingga kegiatan promosi daerah lain, supaya pasar menjadi semakin luas.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019