Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Kiai Maruf Amin menunjuk Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) 2019-2024 dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju  di beranda Istana Merdeka Jakarta, Rabu.

Muhadjir Effendy dipercaya untuk kedua kali sebagai menteri dalam jajaran pemerintahan periode kedua Joko Widodo,  dengan posisi baru sebagai Menko PMK menggantikan Puan Maharani yang kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sejak pertengahan 2016, menggantikan Mendikbud sebelumnya Anies Baswedan.

Baca juga: Mendikbud mengaku pernah dirundung karena tulisan wartawan

Isu mengenai Muhadjir Effendy ditunjuk kembali sebagai menteri, sebenarnya sudah beredar sejak Jumat (18/9) sore. Saat itu, Muhadjir Effendy yang seharusnya menghadiri taklimat media mengenai capaian kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lima tahun terakhir itu tak hadir, karena dipanggil oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Saat itu beredar kabar, kalau kader Muhammadiyah itu ditunjuk kembali menjadi menteri. Namun kabar kalau posisinya sebagai Menko PMK baru tersiar pada Sabtu siang, pada saat taklimat media di bilangan Kuningan, Jakarta.

Selama menjabat sebagai Mendikbud, boleh dibilang Muhadjir menjadi sosok yang berbeda dengan pejabat lainnya. Muhadjir berani mengambil kebijakan yang tidak populer dan menuai kontroversi banyak kalangan.

Meskipun bisa dikatakan, kebijakan yang diambilnya merupakan solusi dari permasalahan pendidikan. Contohnya sistem zonasi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan. Awalnya dimulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kemudian merambat ke distribusi guru dan peningkatan kompetensi guru.

Saat itu, meski dihajar habis-habisan oleh banyak pihak terkait PPDB berbasis zonasi, tapi nyatanya Muhadjir tetap lanjut. Ia berhasil menghilangkan stigma sekolah favorit dan nonfavorit.

Sekolah favorit yang selama diisi terkesan eksklusif karena diisi siswa pintar dan siswa kaya, sekarang berubah dan menerima siswa dari golongan manapun asalkan rumahnya dekat dengan sekolah.

Banyak yang terkena imbasnya, termasuk dua keponakannya di Sidoarjo yang gagal masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri. Namun nyatanya Muhadjir tak bergeming.

Sistem zonasi tersebut kemudian berlanjut hingga digunakan untuk menyelesaikan masalah pendistribusian guru yang tak merata. Selama ini, masalah ini tak pernah bisa selesai karena guru enggan dipindah ke daerah terpencil, walau dengan iming-iming gaji besar sekalipun. Alasannya banyak, salah satunya karena keluarga.

Namun dengan zonasi, mau tidak mau guru pindah dan jaraknya pun tak jauh dari sekolah yang lama, karena masih dalam satu zonasi. Pun untuk kompetensi guru bisa terselesaikan dengan zonasi pula.

Para guru mendapatkan pelatihan secara berkelompok melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran. Para guru tersebut saling berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kompetensinya.

Di mata para wartawan, Muhadjir merupakan sosok yang benar-benar paham akan dunia pendidikan. Permasalahan guru honorer yang terkatung-katung selama beberapa rezim kementerian bisa terselesaikan, dengan menyediakan kuota guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Baca juga: Mendikbud titipkan empat program pada menteri berikutnya

Kesejahteraan guru honorer pun, bisa terselesaikan dengan solusi gaji guru honorer dari Dana Alokasi Umum (DAU). Hal itu bisa terlaksana, jika Kementerian Keuangan menyetujuinya pada tahun ini.

Belum lagi idenya mengenai pendidikan penguatan karakter yang kemudian dikuatkan menjadi Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kemudian Gala Siswa Indonesia, yang berhasil mendeteksi siswa yang memiliki bakat di bidang sepak bola.


Gagal jadi guru

Muhadjir Effendy lahir di Madiun pada 29 Juli 1956. Suami dari Suryan Widati itu menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Malang (sekarang Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang).

Kemudian meneruskan pendidikan sarjana pendidikan sosial di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Selanjutnya gelar magister dari pascasarjana di Universitas Gadjah Mada dengan gelar magister administrasi publik. Ia menyelesaikan program doktoral ilmu sosial Universitas Airlangga, Surabaya.

Di beberapa kesempatan, ia mengaku sebagai regenerasi yang gagal, karena tidak menjadi guru seperti ayahnya. Ayahnya merupakan guru SD.

Muhadjir sendiri ingin menjadi guru SMP mengalahkan ayahnya. Ia ikut tes, namun tidak diterima karena yang diterima adalah peserta dengan peringkat kedua, yang dipilih karena pernah magang di sekolah itu.Dikarenakan hal itu, ia sempat merasa kecewa dan tidak terima dengan kenyataan itu.

Nyatanya batal menjadi guru, karir Muhadjir moncer menjadi dosen. Ia menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Malang sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya menjadi Mendikbud dan saat ini Menko PMK.

Muhadjir juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dalam penampilan, egaliter dalam bersikap dan tegas dalam tindakan. Semua itu tertuang di dalam buku yang diberikan oleh wartawan yang meliput di Kemendikbud kepadanya.

Meski terbilang akrab dengan wartawan, Muhadjir juga mengaku kerap dirundung oleh para wartawan salah kutip pernyataannya. Memang tidak mudah untuk memahami pernyataannya jika tidak mendengar secara langsung dan keseluruhan.

Sejumlah pernyataannya yang menjadi kontroversial akibat dikutip sepotong-sepotong seperti  full day school, guru honorer masuk surga, hingga guru yang kurang berwibawa.

Akibat pernyataan Muhadjir yang kontroversial itu, Presiden Jokowi langsung menegurnya tepat sehari setelah dilantik, karena usulan full day school yang ditentang banyak pihak.

Meski demikian, tepat jika Presiden Jokowi kembali mempercayakan jabatan menteri padanya. Boleh dikatakan Muhadjir merupakan menteri yang bekerja sungguh-sungguh tanpa adanya kepentingan politik pribadinya.

Baca juga: Hanya satu target RPJMN bidang pendidikan tidak tercapai
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019