Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo telah mengumumkan dan melantik menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Maju yang akan membantunya pada periode kedua pemerintahannya bersama Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin.

Di antara menteri-menteri yang baru dilantik ada I Gusti Ayu Bintang Darmavati, yang ditunjuk menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggantikan Yohana Susana Yembise.

Bintang adalah istri Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabinet Kerja Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, politisi PDI Perjuangan yang sebelumnya menjabat sebagai Wali Kota Denpasar dan Wakil Gubernur Bali.

Bintang aktif di beberapa organisasi. Sebagai istri Menteri Puspayoga, Bintang menjabat sebagai Dewan Penasihat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Koperasi dan UKM.

Selain itu, dia menjabat sebagai Ketua Bidang Manajemen Usaha Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), Ketua Bidang II Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Ketua Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga Besar Organisasi Aksi Solidaritas Era (OASE) Kabinet Kerja.

Pada pertengahan September 2019, Bintang meluncurkan buku "Sinergi untuk Negeri", yang merangkum perannya selama lima tahun menjalankan tugas di sejumlah organisasi.

"Buku ini sebagai bentuk pertanggungjawaban saya selama bertugas sebagai istri Menteri Koperasi dan UKM," kata Bintang saat itu.

Lewat buku tersebut dia juga menceritakan perjalanannya keliling Indonesia untuk mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat dan sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung pembangunan di wilayah perbatasan.

Ketua Tim Penulis Darmono mengatakan buku tersebut menggambarkan sosok Bintang saat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dia emban.

"Dalam setiap tugas dan tanggung jawab yang dijalani, Ibu Bintang selalu menjalin sinergi dengan berbagai pihak," kata Darmono, yang menjabat sebagai Kepala Bagian Humas Kementerian Koperasi dan UKM.

Pekerjaan Rumah

Sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang baru, sejumlah pekerjaan sudah menanti Bintang. Apalagi, sebagai kementerian klaster III Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bergerak di tataran koordinasi dan kebijakan.

Saat dipimpin oleh Yohana Susana Yembise, KPPPA dinilai berhasil menorehkan prestasi dalam mengeluarkan kebijakan di bidang pelindungan anak.

Capaiannya antara lain terlihat dari revisi kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016, yang kemudian lebih dikenal sebagai Perppu Kebiri karena mengatur tambahan hukuman berupa kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Perppu tersebut akhirnya disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Saat praktik-praktik perkawinan anak mencuat di beberapa daerah, KPPPA bersama berbagai organisasi pemerhati anak menyuarakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan perkawinan boleh dilakukan oleh laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun.

Batas usia kawin 16 tahun bagi perempuan tersebut menjadi masalah karena menurut Undang-Undang Pelindungan Anak batasan usia anak adalah 18 tahun. Bila perempuan menikah pada usia 16 tahun, maka dia masih tergolong anak-anak.

Aspirasi untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan itu kemudian mendapat tanggapan dari Mahkamah Konstitusi, yang mengeluarkan putusan agar pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR, merevisi Undang-Undang tersebut berdasarkan asas persamaan, yaitu tidak boleh ada perbedaan batas usia kawin bagi laki-laki dan perempuan.

Pemerintah dan DPR akhirnya setuju batas usia kawin laki-laki dan perempuan disamakan menjadi 19 tahun dalam rapat paripurna DPR pada 16 September 2019 dan revisi Undang-Undang mulai diundangkan tepat satu bulan kemudian pada 15 Oktober 2019 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Meskipun undang-undang tentang perubahan terhadap Undang-Undang Perkawinan berhasil diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak belum berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Hingga masa tugas DPR periode 2014-2019 berakhir, Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual belum selesai dibahas untuk dibawa ke paripurna dan disetujui menjadi undang-undang.

Saat ditemui seusai Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Ruang Rapat Paripurna I MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10), Yohana Yembise menyatakan harapannya agar menteri penggantinya bisa melanjutkan dan menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Saya akan sampaikan pada menteri yang akan menggantikan saya, agar bisa melanjutkan apa yang sudah saya lakukan," katanya.

Yohana berharap menteri penggantinya bisa langsung bekerja untuk menuntaskan pembahasan rancangan undang-undang itu bersama DPR untuk melindungi anak dan perempuan dari kekerasan.

"Selain itu juga ada Rancangan Undang-Undang Pengasuhan Keluarga dan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender yang perlu dibahas dan disahkan bersama DPR," tuturnya.

Menurut Yohana, Rancangan Undang-Undang tentang Pengasuhan Keluarga penting karena permasalahan yang terjadi di tingkat keluarga cukup banyak dan cenderung meningkat, seperti perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.

"Selain itu, banyak permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak berawal dan bisa diselesaikan dari keluarga," katanya.

Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan Gender juga harus disahkan menjadi undang-undang karena Indonesia sudah menjadi percontohan untuk Planet 50:50, simbol kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, pada 2030.

"Untuk kesetaraan gender saat ini kIta hanya ada instruksi presiden. Harus ada Undang-Undang yang bisa digunakan sebagai legalitas untuk membawa Indonesia menuju Planet 50:50 pada 2030," katanya. 

Baca juga: Istri mantan Menkop Puspayoga dikabarkan bakal jadi Menteri PPPA

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019