Sebenarnya secara bilateral Indonesia banyak sekali membantu. Indonesia mempunyai akses terbaik dari negara manapun di seluruh dunia dalam hal Rakhine State
Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah banyak membantu penyelesaian masalah warga Rohingya, yang terusir dari daerah asalnya di Rakhine State, akibat konflik antara aparat Myanmar melawan kelompok pemberontak meletus pada Agustus 2017.

“Sebenarnya secara bilateral Indonesia banyak sekali membantu. Indonesia mempunyai akses terbaik dari negara manapun di seluruh dunia dalam hal Rakhine State,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Jose Tavares dalam sesi wawancara khusus di ruang redaksi ANTARA, awal pekan ini.

Hanya berselang satu bulan setelah konflik meletus di Rakhine State, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berkunjung ke Myanmar untuk bertemu dengan Penasihat Negara (State Counsellor) Aung San Suu Kyi.

Menlu Retno adalah pejabat tinggi asing pertama yang mendapat akses untuk bertemu dan berdialog dengan otoritas Myanmar, guna menyampaikan rekomendasi untuk penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine State serta menyerahkan bantuan.

Kemudian pada Januari 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, untuk kembali menyalurkan bantuan dari Indonesia.

Bantuan Indonesia kepada warga Rohingya tidak hanya berbentuk logistik, tetapi juga penyediaan akses pendidikan dan kesehatan.

“Kita sudah membangun empat sekolah di situ (Rakhine State), dan sekarang satu rumah sakit sedang dalam proses penyelesaian,” tutur Jose.

Fasilitas-fasilitas tersebut sangat diperlukan sebelum proses pemulangan pengungsi Rohingya dari Cox’s Bazar ke Rakhine State dapat dilakukan.

Baca juga: Menlu RI: situasi keamanan tantangan utama repatriasi Rohingya

Berbagai fasilitas tersebut, lanjut dia, tidak hanya diperuntukkan bagi warga Rohingya, tetapi juga etnis lain yang ada di daerah tersebut agar mereka dapat hidup berdampingan dengan damai.

“Supaya ada asimilasi yang baik ke depan,” tutur Jose.

Selain itu, Indonesia menilai pemerintah Myanmar juga perlu menumbuhan penyatuan sosial (social cohesion) diantara masyarakat yang hidup di Rakhine State, untuk mencegah konflik horizontal.

“Kita tidak mau antara masyarakat yang beragama Islam, maupun Buddha atau Hindu kemudian saling bermusuhan,” kata Jose.

Menyadari bahwa isu Rohingya merupakan persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara instan, karena berkaitan dengan berbagai aspek seperti kewarganegaraan, keamanan, dan sosial, Jose menegaskan bahwa Indonesia akan terus membantu proses penyelesaiannya.

Bukan tidak mungkin isu ini akan kembali diangkat Indonesia dalam KTT ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, pada 31 Oktober-4 November mendatang.

“Ini mungkin jadi salah satu isu yang akan diangkat bapak Presiden (Jokowi) dalam KTT besok,” ujar Jose.

Baca juga: Menlu Retno bertemu utusan PBB bahas repatriasi Rohingya

Sebelumnya dalam retreat KTT ke-34 ASEAN di Bangkok, Juni lalu, Presiden Jokowi menyoroti isu Rakhine State terutama berkaitan dengan repatriasi pengungsi Rohingya.

Selain mengingatkan bahwa pemimpin ASEAN telah memberikan mandat kepada Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Center) untuk melakukan penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) guna membantu Myanmar mempersiapkan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat, Jokowi juga menyoroti isu keamanan yang disebutnya “kunci bagi pelaksanaan repatriasi”.

Baca juga: Myanmar perlu penuhi hak dasar Rohingya untuk pemulangan kembali
Baca juga: Menlu Retno dan Utusan PBB bahas keamanan repatriasi Rohingya
Baca juga: Tim PBB nilai ASEAN lambat atasi pelanggaran HAM Etnis Rohingya

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2019