Jakarta, (ANTARA News) - Inflasi tahun 2009 bakal di kisaran 8-9 persen, lebih tinggi dari asumsi tingkat inflasi pada APBN 2009 sebesar 6,5 persen menyusul bayang-bayang dampak kenaikan harga minyak, kata pengamat ekonomi Aviliani "Saya tidak yakin dengan asumsi pemerintah yang mematok inflasi pada kisaran 6,5 persen karena tingkat suku bunga di dalam negeri juga masih cenderung tinggi," katanya, di Jakarta, Jumat, menanggapi asumsi indikator makro ekonomi Indonesia RAPBN 2009. Selain dampak kenaikan harga minyak, inflasi masih dipengaruhi efek lanjutan krisis sektor kredit perumahan (suprime mortgage) di AS yang telah meningkatkan kredit bermasalah (NPL) di perbankan. "Hampir dipastikan hingga pertengahan 2009 Fed Fund (Bank Sentral AS) menaikkan bunga. Saat seperti itu tingat bunga di dalam negeri seharusnya diturunkan bukan justru naik untuk meredam inflasi," tegasnya. Dalam lima bulan terakhir Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) dan mencapai level 9 persen, demi meredam tekanan inflasi akibat gejolak harga minyak dan melonjaknya harga komoditas di pasar internasional. "Kenaikan BI Rate cenderung tergesa-gesa, sehingga pada posisi yang tinggi saat ini sulit untuk diturunkan secara drastis. Ini mengakibatkan dampaknya terhadap inflasi masih akan besar," katanya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi Juli 2008 mencapai 1,37 persen, inflasi tahun kalender (Januari-Juli) mencapai 8,85 persen, dan inflasi tahunan (year on year) 11,9 persen. Meski begitu, Aviliani mengatakan, memasuki semester II 2009, tekanan inflasi kemungkinan menurun seiring perkiraan membaiknya kondisi ekonomi AS pasca terpilihnya Presiden di negara itu. Upaya untuk meredam inflasi di dalam negeri tergantung keberhasilan pemerintah mengatur distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan mengawasi harga pangan, katanya. "BBM jelas memberi tekanan, tetapi pangan juga karena bahan makanan merupakan salah satu komponen tertinggi penyumbang inflasi," ujarnya. Menurut Aviliani, inflasi bukan semata bagaimana mengatur harga barang dan jasa, tetapi bisa juga akibat penggunaan subsidi yang tidak tepat sasaran, sehingga memicu inflasi.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008