Kupang (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang Andre Ratumakin menyatakan satu hal yang harus dikaji kembali oleh Menkes baru Dr. Terawan Agus P adalah soal rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat.

"Saya rasa ini menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Kesehatan yang baru dilantik untuk masalah rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.

Baca juga: Menkes Terawan janji cari solusi untuk JKN dengan BPJS Kesehatan

Hal ini disampaikannya berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh Menteri Kesehatan yang baru Dr. Terawan Agus Putranto pascadilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/10) lalu.

Sebelumnya diberitakan bahwa pada awal tahun 2020 nanti iuran BPJS kesehatan akan mengalami kenaikan. Untuk kelas I dan kelas II naik 100 persen, sementara kelas III mengalami kenaikan sebesar 60 persen.

Baca juga: Warga tidak mampu bayar iuran BPJS segera ditanggung negara

Kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan itu karena selama tahun 2019 instansi tersebut sudah mengalami kerugian sebesar Rp32 triliun banyaknya tunggakan dari pengguna BPJS Kesehatan.

Namun kata dosen ilmu politik ini, apakah kenaikan iuran itu akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada saat ini, dan ia justru khawatir jika benar disahkan maka akan lebih banyak masyarakat yang menunggak iuran pembayaran.

Baca juga: Dirut BPJS yakin pembenahan JKN karena kenal lama Menkes Terawan

"Pertanyaannya yang paling penting sebenarnya adalah apakah dengan kenaikan iuran dapat menuntaskan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang layak bagi semua warga sebagai pemenuhan kebutuhan dasar," ujar dia.

Sebab lanjut dia persoalan yang menyebabkan defisit bukan terutama karena rendahnya premi BPJS tetapi karena tunggakan membayar oleh peserta mandiri atau pembayaran premi dilakukan hanya pada saat peserta mau menggunakan fasilitas BPJS. Belum lagi manajemen BPJS yang tidak dikontrol publik.

Selain itu kata dia dugaan "fraud" yang dilakukan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) dengan pemberlakuan berbagai kebijakan dan tuntutan BPJS seperti kapasitas berbasis kinerja dan INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups) yang sulit terpenuhi pemberi layanan kesehatan.

"Contohnya, penggunaan dana kapitasi di FKTP berbasis KBK dengan tuntutan pemenuhan empat indikator yang dirasakan sulit untuk tercapai 100 persen.. Tuntutan ini dapat membuka peluang mal administrasi untuk dapat mencapai target setiap indikator untuk mendekati atau mencapai 100 persen. Apalagi target capaian berpengaruh pada jumlah alokasi kapitasi dan jasa pegawai," tutur dia.

Menurut dia praktek INA CBG’s juga dapat membuat pihak RS berusaha mencari celah agar tidak merugi. Misalnya, memulangkan pasien kronis karena sudah melewati batas waktu paket pembayaran yang boleh diklaim ke BPJS. Akibatnya tujuan utama pelayanan tidak tercapai hanya demi efisiensi.

"Saya melihat bahwa di satu sisi ada niat baik pemerintah, terutama birokrat untuk untuk membuat segala bentuk layanan dasar publik menjadi lebih efisien dan efektif. Tetapi di lain sisi, upaya ‘profesionalisasi’ layanan non profit pemerintah ala pelayanan ‘swasta’ belum disertai manajemen yang mumpuni. Mungkin ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah, termasuk kabinet jilid II Jokowi-Ma’aruf, khususnya lagi Menkes," tambah dia.

Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019