kalau punya konsesi ya harus tanggung jawab
Pekanbaru (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Riset Kehutanan Internasional atau CIFOR, Prof. Dr.Herry Purnomo menilai, perusahaan industri kehutanan dan perkebunan lebih baik melepaskan konsesi yang berkonflik dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Saya setuju prinsip strict liability, kalau punya konsesi ya harus tanggung jawab. Kalau nggak mau disalahkan ya lepas saja, kasih saja ke pemerintah," kata Prof. Dr. Herry Purnomo di Pekanbaru, Jumat.

Ketika pemerintah sudah memberi kepercayaan berupa konsesi untuk hutan tanaman industri maupun hak guna usaha untuk perkebunan, lanjutnya, maka korporasi mutlak harus bertanggung jawab menjaga termasuk dari perambahan dan karhutla.

Baca juga: CIFOR waspadai politik lahan picu karhutla jelang Pilkada

Baca juga: CIFOR nyatakan ISPO jamin sawit Indonesia berkelanjutan


Namun, kondisi yang ada sekarang adalah karhutla masih terjadi di area konsesi, dan salah satu sebabnya karena adanya konflik dengan oknum perambah.

"Saya katakan ini sudah dikuasai oknum, elit orang-orang kaya bukan orang biasa. Kalau mereka (perusahaan) nggak mampu jaga ya lepas saja," ujarnya.

Ia mengakui pengembalian konsesi perusahaan yang sudah dirambah akan membuat repot pemerintah juga, namun hal tersebut bisa membersihkan konsesi dari potensi karhutla dan konflik.

"Terserah nanti pemerintah mau kasih ke siapa," ujarnya.

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya telah menyatakan ada delapan perusahaan di Provinsi Riau yang lahannya terpaksa di segel akibat terjadi kebakaran. Inisial perusahaan tersebut adalah PT THIP, PT TKWL, PT RAPP, PT SRL, PT GSM, PT AP, PT TI dan PT GH.

Berdasarkan informasi, sebagian konsesi tersebut terbakar akibat dikuasai oleh warga yang membuka lahan. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari penyelidikan dari KLHK terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

Baca juga: CIFOR: Masyarakat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019