Jakarta (ANTARA News) - Okupasi penjajah Jepang, termasuk mengubah Kantor Berita Antara menjadi Domei Indonesia, masih meregang meski Hiroshima dan Nagasaki telah dibom atom tentara Sekutu pada 9 dan 14 Agustus 1945. Tetapi itulah pertanda kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Para pejuang Indonesia pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk memproklamasikan kemerdekaan terlebih janji manis Jepang untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia melalui pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) bikinan Jepang pada 29 April 1945 yang bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito hanya isapan jempol. Soekarno dan Hatta selaku pimpinan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Iinkai) serta mantan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat yang baru datang dari Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi pada 14 Agustus 1945 didesak Sutan Syahrir dan para pejuang muda lain seperti Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Syahrir dan para pejuang lain meyakinkan Soekarno bahwa pertemuan di Dalat dan janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945 hanya tipu muslihat Jepang. Para pemuda pejuang itu sempat menculik Soekarno bersama istrinya Fatmawati dan anaknya Guntur, serta Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Malam harinya Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan Komandan Angkatan Darat Pemerintahan Militer Jepang di Hindia Belanda (Gunseikan) Letjen Moichiro Yamamoto di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dari pertemuan dengan Yamamoto, Soekarno dan Hatta kian yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat dan tidak berwenang memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Malam itu pula Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni, dan Sajuti Melik rapat merumuskan teks proklamasi. Sajuti menyalin dan mengetik teks proklamasi.Esok paginya pukul 10:00 WIB bertepatan dengan hari Jumat 17 Agustus 1945 Masehi atau 17 Ramadan 1365 Hijriah atau 17 Agustus 2605 Tahun Jepang, bertempat di kediamannya Jalan Pegangsaan Timur 56 Cikini Jakarta Pusat, Soekarno didampingi Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI. "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, hari 17, bulan 8, tahun 45. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno - Hatta". Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, pemimpin Domei Indonesia Adam Malik dari tempat persembunyiannya di Bungur Besar menelepon Asa Bafagih dan mendiktekan bunyi teks proklamasi. Adam Malik minta agar berita tersebut diteruskan kepada Pangulu Lubis untuk segera disiarkan tanpa izin Hodohan (sensor Jepang) sebagaimana biasanya. Perintah Adam Malik itu dilaksanakan Pangulu Lubis dengan menyelipkan berita proklamasi diantara berita-berita yang telah disetujui Hodohan yang kemudian disiarkan melalui kawat (morce cast) oleh teknisi Indonesia, Markonis Wua, dengan diawasi Markonis Soegiarin. Berita tersebut segera menyebar, dapat ditangkap di San Fransisco (AS) maupun di Australia.Pemerintah pendudukan Jepang gempar setelah mengetahui tersiarnya berita kemerdekaan RI. Semua pagawai Jepang di Domei dimintai pertanggungjawaban. Domei segera membuat berita bantahan proklamasi dengan menyebutnya "salah". Mereka yang ditugaskan membuat bantahan adalah Sjamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi dibantu seorang Jepang bernama Tanabe. Dua orang Indonesia itu karena ditentang teman-temannya tidak bersedia membuat berita bantahan sehingga hanya Tanabe sendiri yang membuatnya dan Markonis Wau menyiarkan melalui kawat. Berita proklamasi kemerdekaan itu kemudian diteruskan ke Radio Republik Indonesia (RRI) yang ketika itu juga dikuasai Jepang dengan nama Hoso Kyoku. Jumat petang 17 Agustus 1945 seorang dari Domei masuk ke RRI dengan cara meloncat dari tembok belakang - karena di depan dijaga ketat oleh serdadu Jepang Kempetai. Ia memberikan secarik kertas dari Adam Malik kepada penyiar Jusuf Ronodipuro. Secarik kertas itu berisi tulisan tangan Adam Malik dan tertulis "Harap berita terlampir disiarkan." Lampiran berita yang dimaksud adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan Soekarno pada pukul 10 pagi. Jusuf Ronodipuro menyiarkan teks proklamasi itu pada pukul 19:00 WIB dari studio siaran luar negeri yang tidak dijaga Kempetai. Sama seperti di Antara, berita tersebut diselundupkan tanpa sepengetahuan Jepang disiarkan sehingga berita kemerdekaan tersebut semakin meluas jangkauannya, terbukti kemudian berita itu menjadi bahan percakapan dari mulut ke mulut. Ihwal tersiarnya berita itu di RRI bermula dari inisiatif Syahrudin, seorang wartawan muda Antara di Domei yang menyampaikan berita itu kepada petugas radio Kartidjo Hardjomoeljo alias Tjepot yang lalu menghubungi Soendoro di kantor berita Domei karena ragu untuk menyiarkannya. Setelah mendapat penjelasan dari Soendoro, maka berita proklamasi tersebut disiarkan.Berita itu membuat kaget penguasa Jepang. Setelah diselidiki diketahui bahwa asal berita tersebut adalah dari Domei. Di Surabaya, berita kemerdekaan dari Domei Jakarta diterima Markonis Jacub dan diberikan kepada Raden Mas Bintarti dan wartawan Soetomo (Bung Tomo).Juga diteruskan kepada surat kabar Soeara Asia namun ketika hendak disiarkan datang berita bantahan yang dibuat Tanabe sehingga redaksi Soeara Asia bimbang. Setelah mengecek situasi yang sebenarnya ke Jakarta melalui telepon redaksi Soeara Asia memutuskan tetap menurunkan berita tersebut. Mereka malah membuat selebaran-selebaran berita proklamasi serta menempelkan berita-berita itu dengan huruf-huruf besar di depan kantor Soeara Asia. Merasa sudah merdeka, orang-orang Indonesia di Domei Surabaya menguasai peralatan Domei untuk memantau berita-berita, disamping untuk menyiarkan buletin Siaran Kilat tanpa mencantumkan nama Domei. Kantor Domei Cabang Surabaya merupakan kantor cabang pertama yang melepaskan diri dari ikatan Domei Pusat Jakarta.Di Semarang, berita proklamasi dari Domei Jakarta diteruskan kepada penguasa tertinggi Indonesia di sana, Mr. Wongsonegoro yang saat itu menjabat Fuku Shuchookan (Wakil Residen Semarang). Berita itu dibacakan Wongsonegoro dalam sidang pleno dan mendapat tanggapan meriah lalu disebarluaskan kepada masyarakat sampai ada berita bantahan dari Domei. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat orang-orang Jepang di Domei Semarang kehilangan gairah kerja. Sebaliknya orang-orang Indonesia sangat bergairah bahkan mengambil alih dan menguasai kantor berita Domei. Ketika berita Proklamasi sampai di Bandung melalui "morse cast" dari Domei Jakarta, wartawan dan markonis Domei Bandung yang nasionalis terjegal saat akan menyebarkan berita gembira tersebut. Jepang melarang penyebarannya karena berita tersebut dikirim dari Jakarta tanpa melalui izin Sendenbucho atau Kepala Barisan Propaganda Jepang. Meski Jepang lebih ketat melakukan pengawasan terhadap penyebaran berita tersebut, berita proklamasi tetap dapat sampai ke meja redaksi surat kabar dan radio Jepang Bandung Hoso Kyoku atau Radio Nirom pada zaman Belanda, Harian Tjahaja dan Soeara Merdeka. Kejadian serupa juga terjadi di Yogyakarta maupun di daerah-daerah lainnya. Semua merupakan perjuangan Antara dalam menyiarkan teks proklamasi. Kantor Berita Antara sempat diganti oleh penjajah Jepang dengan nama Yashima (Semesta) pada 29 Mei 1942 tetapi nama itu hanya bertahan tiga bulan dan kemudian berganti nama lagi menjadi Domei Indonesia. Nama Domei bertahan hingga 3 September 1945 dan sejak tanggal itu berganti nama kembali menjadi Antara.Berikut cuplikan beritanya. "KANTOR BERITA INDONESIA ANTARA" Mendjelma kembali ditengah-tengah masjarakat Republik Indonesia Merdeka. Djakarta, Semendjak hari Senen tanggal 3 September mulai berkerdjalah kembali Kantor Berita Indonesia Antara, sementara untuk menjiarkan berita-berita dalam negeri kepada surat-surat kabar di Djawa. Diharap tidak lama lagi kantor berita tersebut akan menjiarkan pula berita-berita luar negeri jang ditangkapnja dari berbagai kantor berita internasional. Kantor berita ini berpusat di Djakarta dan mempunjai kantor-kantor tjabang di Bandung, Surabaja, Djogja, Semarang, sedangkan di tiap-tiap Kabupaten ada seorang Djuruwartanja. Perhubungan dengan kepulauan Indonesia luar Djawa sedang diuasahakan setjepat mungkin. Untuk sementara waktu alamat kantor pusatnja ialah: Kantor Berita Antara, Djalan Surja Timur I, Djakarta Raja." Manajemen Antara kemudian mengambil alih gedung Domei di Jalan Pos Utara yang masih dikuasai Jepang. Melalui perundingan yang alot, Jepang menyerahkan gedung tersebut untuk menghindari bentrokan karena massa yang sudah banyak berkumpul di luar gedung. Jepang kala itu tak lagi berdaya.(*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008