Jakarta (ANTARA News) - Dua tahun sudah aliran dana Bank Indonesia (BI) menjadi perhatian publik sejak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal skandal gelontoran dana miliaran rupiah dari bank sentral. Kasus aliran dana BI telah menjerat lima orang sebagai pesakitan, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandu. Menurut laporan BPK, kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI pada 2003 yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Oey diduga menyerahkan dana YPPI itu sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amendemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Salah satu hal yang selalu menghiasi halaman depan majalah dan surat kabar adalah aliran dana BI ke para wakil rakyat di Senayan. Sejak laporan BPK menjadi konsumsi publik, muncul semacam kesepakatan bahwa dana bank sentral yang diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR adalah benar-benar Rp31,5 miliar. Namun, dalam kurun waktu dua tahun ini, muncul berbagai fakta yang membuat orang mengernyitkan dahi sambil memutar otak untuk menghitung kembali jumlah pasti aliran dana ke para politisi di Senayan. Tidak jarang keterangan beberapa saksi di pengadilan saling bertolak belakang. Sebagian besar menyatakan aliran dana ke DPR tidak sebanyak perkiraan BPK. Bertahap Surat dakwaan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara yang menjerat Oey Hoy Tiong dan Rusli Simandjuntak menyatakan keduanya bertanggung jawab atas aliran dana BI. Oey dituduh mengalirkan dana miliaran rupiah kepada para mantan pejabat teras BI. Sedangkan Rusli Simanjuntak disebut menyerahkan Rp31,5 miliar kepada anggota Komisi IX DPR Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandu. Aksi Rusli dibantu oleh Asnar Ashari yang saat penyerahan pada 2003 menjabat sebagai Analis Senior Biro Gubernur BI. Asnar mengaku membantu Rusli menyerahkan uang kepada Antony dan Hamka, sebelum kedua anggota DPR itu membagikan uang tersebut kepada rekan kerja mereka di Senayan. Penyerahan uang kepada Antony dan Hamka dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah penyerahan uang Rp2 miliar di hotel Hilton, Jakarta, pada 27 Juni 2003. Menurut Asnar, penyerahan tahap kedua terjadi pada 2 Juli 2003 di rumah Antony berupa penyerahan uang sebesar Rp5,5 miliar. Kemudian, terjadi penyerahan uang sebesar Rp7,5 miliar di hotel Hilton, yang dilanjutkan dengan penyerahan uang Rp10,5 miliar di rumah Antony pada September 2003. Tahap akhir terjadi pada Desember 2003 berupa penyerahan uang Rp6 miliar di rumah Antony. Apabila dihitung, jumlah penyerahan dalam lima tahap itu sama persis dengan laporan BPK tentang aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR, yaitu Rp31,5 miliar. Namun melalui mulut Asnar, jumlah pasti aliran dana BI ke para wakil rakyat itu menjadi hal yang tak pasti. Di hadapan majelis hakim, pria yang kini menjadi kepala perwakilan BI di New York, AS, itu mengaku menerima pengembalian sejumlah uang setiap kali menyerahkan dana BI kepada Antony dan Hamka. Asnar membenarkan, Rusli dan dirinya menerima pengembalian uang dari Antony pada penyerahan tahap kedua hingga kelima. Uang pengembalian itu mencapai Rp3 miliar dan disimpan di lemari besi Rusli Simanjuntak. Uang itu baru diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dua tahap, pada 18 April 2008 (Rp1,1 miliar) dan 19 April 2008 (Rp1,9 miliar). Menurut Asnar, uang Rp3 miliar itu adalah dana untuk membantu kerja DPR dalam menangani masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pembahasan UU BI. "Yang mengusulkan itu pak Antony," kata Asnar di hadapan hakim tentang penyisihan uang sebesar Rp3 miliar. Asnar membantah uang itu merupakan komisi dari Antony dan Hamka atas aliran dana BI. Namun, Asnar tergugup dan terbata-bata ketika harus menjawab pertanyaan majelis hakim mengapa pengembalian uang baru dikembalikan ke KPK pada 2008, setelah kasus itu mencuat. Berpijak pada pengakuan Asnar ini, publik memperoleh gambaran baru bahwa dana yang sampai ke tangan wakil rakyat hanyalah Rp28,5 miliar. Pengakuan Hamka Lain Asnar, lain pula Hamka Yandu. Politisi dari partai Golkar ini membeberkan bahwa aliran dana BI tidak seperti yang diceritakan oleh Asnar dan laporan BPK. Hamka menegaskan bahwa aliran terjadi hanya dalam empat tahap, bukan lima tahap seperti kesaksian Asnar. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang juga diamini bendahara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) itu di hadapan hakim menyebutkan jumlah aliran dana BI tidak sebanyak yang dijanjikan BI dan laporan BPK. BAP Hamka tertanggal 24 April 2008 menyebutkan, penyerahan uang tunai dari BI melalui Rusli dan Asnar berlangsung empat kali. Pada pembayaran tahap pertama, BI menjanjikan uang sebanyak Rp2 miliar, namun Hamka hanya mengaku menerima Rp1,8 miliar. Kemudian ada komitmen penyerahan Rp5,5 miliar di rumah Antony, namun hanya terealisasi Rp4,95 miliar. Sedangkan pada penyerahan tahap ketiga, Hamka mengaku hanya menerima Rp9,450 miliar dari komitmen Rp10,5 miliar. Hamka juga mengaku tidak menerima Rp6 miliar dana BI secara utuh pada penyerahan keempat. Hamka dan Antony hanya kebagian Rp5,4 miliar. Keteragan awal ini membuat perdebatan lanjutan tentang jumlah aliran dana ke DPR. Berdasar perhitungan atas keterangan Hamka tersebut, DPR hanya menerima Rp21,6 miliar dari total Rp31,5 miliar. Angka versi Hamka ini juga lebih sedikit dari kesaksian Asnar bahwa BI telah mengucurkan Rp28,5 miliar ke DPR. Kesaksian lanjutan Hamka tidak kalah mengejutkan. Dia menyatakan sejumlah anggota Komisi IX DPR ikut menikmati dana bank sentral. Sebanyak 52 politisi yang pernah aktif di Komisi IX terseret. Bahkan Hamka menegaskan dirinya sendiri yang membagikan uang itu kepada tiap nggota Komisi IX, atau kepada salah satu anggota fraksi yang kemudian dibagi rata. Meski membuka tabir, pengakuan Hamka juga menjadi awal keruwetan jumlah aliran dana BI ke DPR. Berdasar perhitungan dari pengakuan Hamka, jumlah jatah bagi DPR hanya sekira Rp12,6 miliar. Pengakuan Hamka bisa diirinci sebagai berikut. Uang sejumlah Rp4 miliar mengalir ke 12 politisi Partai Golkar. Dua di antara mereka, yaitu Hamka Yandu dan Paskah Suzetta, menerima Rp500 juta dan Rp1 miliar. Sedangkan sepuluh politisi lainnya mendapat jatah masing-masing Rp250 juta. Kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga mendapat jatah. Partai berlambang kepala banteng itu menerima sekira Rp3,55 miliar yang dibagikan kepada sedikitnya delapan orang anggotanya. Kemudian, secara berturut-turut beberapa politisi sejumlah fraksi juga menerima aliran dana. Beberapa fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (menerima total Rp1,75 miliar), Fraksi Kebangkitan Bangsa (total Rp1,25 miliar), Fraksi Reformasi (sedikitnya Rp1 miliar), Fraksi TNI/Polri (sedikitnya Rp250 juta), Fraksi KKI (sedikitnya Rp250 juta), dan Fraksi PBB menerima sedikitnya Rp550 juta yang Rp300 juta di antaranya diterima MS. Kaban (Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu). Terkait dugaan aliran itu, Kaban membantah. Pengakuan Hamka semakin menambah panjang daftar pertanyaan dan kecurigaan publik tentang jumlah sebenarnya gelontoran dana BI kepada para wakil rakyat. Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dalam beberapa kesempatan tidak membantah bahwa ada ketidaksamaan perhitungan. Namun, mantan pengacara itu tidak bersedia memberi penjelasan secara rinci tentang hal itu. "Itu yang sedang kita dalami," katanya setiap kali ditanya tentang simpul aliran dana BI yang kian kusut. Siapa saja boleh mengaku benar. Siapapun boleh membantah. Namun, fakta persidangan akan tetap bergulir.(*)

Pewarta: Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008