Jakarta (ANTARA) - Berbagai peristiwa penting baik nasional maupun internasional akhir-akhir ini menyebut nama Indonesia dalam berbagai perspektifnya.

Pergantian pemerintahan, yang diawali dengan kampanye dari dua kubu yang berseberangan serta perbedaan penafsiran tentang hasil pilpres yang dipertikaikan melalui jalur hukum, ternyata menghasilkan pemerintahan yang, sepanjang pengetahuan penulis, belum ada preseden nya di negara lain.

Rekonsiliasi telah berhasil mewujudkan pemerintahan yang mencerminkan win-win solution, demi NKRI yang menjadi komitmen serta pertaruhan bersama sejak dicetuskannya proklamasi tahun 1945.

Ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, nampaknya, by design atau pun by accident, Rekonsiliasi telah membuahkan kesepakatan dari tokoh-tokoh yang sepertinya lebih mengedepankan sikap-sikap kenegarawan daripada jurus-jurus kepartaian.

Kedua, semakin disadari bahwa untuk mewujudkan perubahan apalagi untuk menghasilkan kemajuan yang lebih cepat dan lebih baik bagi suatu bangsa diperlukan peranan yang lebih menonjol serta strategis dari komunitas teknokrat atau pun profesional daripada sekadar memuaskan kemauan golongan politisi, yang selama ini mendominasi kancah politik nasional.

Baca juga: Akademisi: Nadiem Makarim merupakan Mendikbud milenial

Ketiga, yang dipertaruhkan sepertinya adalah masa depan negara, bangsa dan rakyat Indonesia. Pertanyaannya adalah "Bagaimana mengukir wajah Indonesia pada tahun 2045, 100 tahun setelah tercapainya kemerdekaan". Indonesia yang adil dan makmur, yang dicita-citakan.

Tidak sekadar makmur saja, namun tidak mencerminkan keadilan. Atau pun sekadar adil saja, tetapi tidak diwujudkan dalam bingkai kemakmuran.

Tampilnya generasi milenial sebagai generasi penerus bangsa adalah suatu keniscayaan. Mereka secara estafet akan melanjutkan cita-cita kemerdekaan, yang telah dipelopori oleh berbagai generasi sebelumnya : angkatan 45, angkatan 66 dan angkatan 98. Generasi milenial ini diharapkan akan mengukir masa depan bangsa.

Tentu saja mereka perlu dibekali dan ditanamkan pentingnya untuk memahami, menguasai dan melaksanakan nilai-nilai yang dimiliki oleh Pancasila, falsafah bangsa yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.

Pada peringkat internasional, Indonesia sudah semakin menyadari pentingnya lingkungan regional dan global.

Baca juga: Sebanyak 5 ribu milenial tanam pohon bersama gubernur

Keberhasilan Indonesia semasa Bung Karno memprakarsai Konferensi Asia Afrika (1955), pembentukan Gerakan Non Blok (1961) serta dilanjutkan oleh Suharto dengan terbentuknya ASEAN (1967), tidak berlanjut dengan terobosan-terobosan lainnya. Seyogyanya perlu dilanjutkan dengan berbagai karya-karya monumental lainnya oleh pemimpin-pemimpin Indonesia generasi penerus.

Salah satu wadah internasional yang belum berhasil dibenahi adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan tersebut belum mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang yang jumlahnya adalah lebih dari 2/3 jumlah anggota PBB (193), kurang lebih 140 negara.

Salah satu badan PBB, Dewan Keamanan, hanya mencerminkan kepentingan 5 negara besar: AS, Inggris, Prancis, Rusia dan China. DK ini perlu dilakukan Reformasi dengan memasukkan representasi negara-negara berkembang dan negara-negara penting lainnya.

Negara-negara berkembang yang mewakili regional Asia (India, Indonesia), Afrika (Mesir, Afrika Selatan) dan Amerika Latin (Brazil, Venezuela), disamping Jerman dan Jepang perlu memperkuat DK PBB. Sehingga keanggotaannya menjadi 13 negara.

Baca juga: Pola kerja perusahaan industri 4.0 harus disesuaikan dengan milenial

Gagasan ini pada tahun 1980-an pernah dicetuskan oleh kelompok Negara-negara berkembang di PBB, seperti pernah diungkapkan oleh Menlu Ali Alatas, dalam rangka reformasi badan dunia tersebut. Saat itu, formula yang diajukan adalah 11 negara (5 negara besar + 6 negara lainnya). Apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia yang saat ini berkedudukan sebagai anggota tidak tetap DK PBB?

Baca juga: Kemenkominfo ingatkan generasi milenial cerdas kelola TIK

Di samping ketimpangan politik di dunia tersebut, kepincangan ekonomi juga perlu dibenahi. Dialog Utara-Selatan dalam rangka mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru The New International Economic Order gagal melaksanakan tugas tersebut. Terbentuknya G-20, yang merupakan perwakilan negara maju dan negara berkembang, jauh dari harapan dari lebih 140 negara-negara berkembang, yang umumnya mendiami kutub Selatan ini.

Apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia ke depan? Hal ini tentunya sepenuhnya terpulang kepada mereka yang diberikan amanah oleh negara dan bangsa Republik Indonesia.

*) Nazaruddin Nasution adalah pengamat Hubungan Internasional, Anggota ICWA, AIHII.

Copyright © ANTARA 2019