Bahkan di Jawa Tengah ditemukan AKP yang dibayar Rp300.000 per bulan oleh pemilik kapal
Jakarta (ANTARA) - LSM Destructive Fishing Watch menemukan masih ada bentuk diskriminasi yang diterima Awak Kapal Perikanan (AKP) antara lain terkait dengan sistem penggajian yang di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) serta kelebihan jam kerja.

"Di Provinsi Sulawesi Utara, UMP saat ini sebesar Rp3 juta, tapi beberapa perusahaan perikanan masih memberi upah antara Rp2-2,5 juta per bulan kepada AKP. Bahkan di Jawa Tengah ditemukan AKP yang dibayar Rp300.000 per bulan oleh pemilik kapal," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa.

Untuk itu, ujar Abdi, pemerintah mesti berupaya untuk mengatasi masalah diskriminasi yang kerap dialami oleh AKP baik yang bekerja di dalam maupun luar negeri, dengan instrumen dan aturan ketenegakerjaan perlu diberlakukan untuk memenuhi aspek keadilan bagi AKP.

Abdi menegaskan, perbaikan sektor perikanan tangkap saat ini mesti terintegrasi dengan penanganan ketenagakerjaan sehingga memberi dampak kesejahteraan bagi AKP.

"Perlakuan diskriminasi yang diterima oleh AKP sudah cukup lama sehingga merugikan AKP. Salah satu bentuk diskriminasi tersebut adalah tentang mekanisme pengupahan dan jam kerja di laut yang selalu berlebihan dan tanpa kompensasi waktu istrahat yang cukup," kata Abdi.

Ia menuturkan, aturan pengupahan bagi AKP adalah mayoritas diberikan dengan sistim bagi hasil, adapun pengupahan dengan sistim gaji lebih banyak dilakukan di bawah standar Upah Minimum Provinsi.

Padahal resiko pekerjaan di atas kapal perikanan, lanjutnya, lebih besar daripada bekerja di darat.

Sementara itu, Project Coordinator SAFE Seas, Nono Sumarsono mengatakan bahwa saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan banyak kebijakan dan peraturan terkait aspek ketenagakerjaan di sektor perikanan tapi belum diberlakukan secara efektif.

Selain perlindungan AKP, ujar dia, pemerintah juga memiiki program yang memberikan insentif kepada perusahaan penangkapan ikan. "Pada kegiatan bisnis perikanan tangkap yang dilakukan oleh perusahaan, peran dan posisi tiga pihak harus setara dan sejajar yaitu pemerintah, perusahaan dan pekerja sehingga masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan jalan dialog dan mediasi," kata Nono.

Guna mendukung pemerintah membenahi kondisi ketenagakerjaan di sektor perikanan tangkap, saat ini DFW-Indonesia dan Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII) sedang bekerjasama dalam program Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas).

Program ini bertujuan untuk mengurangi praktik kerja paksa dan perdagangan orang pada sektor perikanan tangkap di Indonesia. Program SAFE Seas akan berlangsung selama 2 tahun (2019-2021) dan akan di implementasikan di Provinsi Jawa Tengah (Brebes, Tegal dan Pemalang dan Provinsi Sulawesi Utara (kota Bitung).

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meminta kepada pengusaha perikanan untuk benar-benar mematuhi aturan terkait asuransi nelayan bagi anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal perikanan milik para pengusaha tersebut.

"Saya meminta kepada pengusaha untuk mematuhi soal ini," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar di Jakarta, Senin (28/10).

Menurut Zulficar Mochtar, pihaknya juga telah mendorong agar nelayan dan ABK kapal perikanan harus mendapatkan asuransi nelayan.

Hal tersebut, lanjutnya, merupakan jaminan yang esensial bagi nelayan karena kerap ditemui keluhan para ABK yang mengeluh sakit, tidak dibayar gajinya, bahkan ada yang mengeluh terpaksa bekerja hingga 18 jam sehari.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019