Menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan makro di berbagai negara, terutama di kawasan Asia
Jakarta (ANTARA) - Negara-negara di kawasan Asia diperkirakan menghadapi tantangan yang lebih berat di tahun 2020, seiring dengan kian melemahnya perekonomian global sebagai dampak dari meningkatnya ketidakpastian akibat perang dagang Amerika Serikat-China.

Ketidakpastian ini membuat pertumbuhan perdagangan global turun sejak 2017 yaitu dari 4,6 persen menjadi 2,6 persen dan juga telah menekan arus investasi langsung yaitu turun sekitar 72 persen.

“Ketegangan perdagangan global telah mengganggu arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang berdampak kepada aliran pasar keuangan dan modal. Ini menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan makro di berbagai negara, terutama di kawasan Asia,” kata Mari Elka Pangestu, direktur dan salah satu founder Indonesia Bureau of Economic Research (IBER), dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Hal itu diungkapkan Mari dalam sebuah simposium internasional dengan tema Asia’s Trade and Economic Priorities 2020, yang digelar IBER dan Asia Bureau of Economic Research (ABER), Bank Indonesia Institute, ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and Asia), Astra, Sinar Mas dan Tenggara Strategics.

“Ancaman terhadap integrasi pasar keuangan menimbulkan ketidakpastian terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi, dan ini kian mempersulit pengambilan keputusan dalam kebijakan makro,” ujar Mari, yang pernah menjabat Menteri Perdagangan periode 2004-2011.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, mengatakan tiga isu utama yang harus dihadapi Indonesia dan negara-negara Asia lainnya yaitu pelambatan ekonomi global, in-efektivitas kebijakan moneter yang bergantung pada suku bunga dan digitalisasi dan transformasi ekonomi dan finansial.

“Bank Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedang bekerja keras untuk mendorong lima area kebijakan yang menjadi prioritas,” ujar Perry Warjiyo.

Lima prioritas tersebut, pertama memastikan stabilitas dan ketahanan ekonomi, kedua, menemukan sumber baru pertumbuhan ekonomi dari sektor manufaktur, pariwisata, dan ekonomi digital, ketiga, melakukan reformasi-reformasi yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, mendorong investasi dan zona ekonomi khusus.

Selanjutnya, keempat, terlibat dengan negara-negara lain untuk mempromosikan perdagangan yang lebih terbuka, kelima, memperkuat kerja sama regional dalam sektor finansial dan jaring keamanan finansial.

Dinamika perekonomian global saat ini telah mempersulit negara Asia dalam menghadapi tantangan utama perekonomian mereka yaitu pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, perbaikan lingkungan, pengelolaan perubahan iklim, menanggapi transformasi teknologi yang cepat, dan memperkuat sistem politik dan hukum.

Buruknya iklim perdagangan dunia membuat integrasi pasar yang selama ini dibangun untuk menopang pertumbuhan mulai terpecah, dan ini berdampak negatif terhadap rantai pasok dan jaringan produksi di berbagai negara Asia.

Sebuah studi oleh konsultan Baker dan McKenzie terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, menemukan bahwa hampir setengah dari 600 perusahaan yang disurvei membuat perubahan besar pada rantai pasokan mereka dan sekitar 12 persen di antaranya sedang mempertimbangkan perubahan sistem rantai pasoknya secara total.

Kemitraan komprehensif

Sebagai kawasan yang paling terkena dampak perang dagang AS-China, negara-negara Asia tidak boleh hanya berharap pemulihan iklim perdagangan kepada akan tercapainya kesepakatan dua negara ini. Negara-negara di Asia dan ASEAN, termasuk Indonesia, perlu pro aktif dan tampil sebagai pemimpin dalam menghadapi tantangan dan memulihkan iklim perdagangan global.

Dengan kekuatan ekonomi yang meliputi sekitar 30 persen perdagangan dan PDB dunia, dan setengah populasi dunia, negara Asia mempunyai kekuatan untuk menentukan sendiri arah perdagangan global ke depan.

“Tidak boleh menyerahkan pemulihan perdagangan dunia kepada kesepakatan AS-China, karena tidak akan menyentuh kepentingan negara-negara Asia, untuk itu kita harus tampil di depan dan melanjutkan keterbukaan pasar dan arus investasi antara kita. Menyerahkan pemulihan perdagangan global kepada AS-China akan menjadi preseden negatif," kata ketua ABER Professor Peter Drysdale.

Untuk itu, negara Asia harus memperkuat kerja sama Asia juga harus meningkatkan kerja sama melalui forum regional dan global seperti APEC, ASEAN, KTT Asia Timur, dan G20 dalam kerangka Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Kerja sama ini tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi sekaligus juga akan memperkuat kepercayaan diri negara-negara Asia dalam menghadapi kekuatan ekonomi lainnya.

RCEP juga akan mengirim sinyal yang kuat bahwa Asia tetap berkomitmen pada reformasi perdagangan dan keterbukaan, melalui kerja sama dan keterbukaan regionalisme yang akan mendorong pertumbuhan dan menyejahterakan masyarakatnya.

Tentu perlu juga di kombinasi dengan kebijakan domestik agar menjamin keuntungan dari globalisasi lebih inklusif perlu menjadi prioritas.

Sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan pencetus RCEP, menurut Mari, Indonesia mempunyai peluang besar memanfaatkan kerja sama mega regional melalui RCEP.

 

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019