Jakarta (ANTARA) - Pengguna Twitter kerap menggunakan tagar (#) pada cuitannya, terutama jika ingin menaikkan topik tertentu agar viral dan masuk jajaran terpopuler di platform tersebut.

Namun, saat ini, topik tanpa tagar pun bisa masuk ke dalam daftar tersebut. Hal itu lantas membuat pengguna bertanya-tanya, perlukah menyematkan tagar pada konten yang dibagikan di Twitter?

Menurut Country Industry Head Twitter Indonesia, Dwi Adriansah di Jakarta pada Rabu, fungsi tagar di Twitter adalah sebagai arsip atau grup sebuah pembicaraan tertentu.

"Fungsi dari tagar itu sendiri digunakan sebagai grouping pada sebuah pembicaraan yang menggunakan hashtag itu. Misalnya #LaunchingBrandA, dan sejenisnya," kata Dwi.

Jika dibandingkan dengan penggunaannya di sosial media lain, tagar memiliki fungsi agar konten pengguna dapat lebih mudah ditemukan pengguna lainnya.

Menurut Dwi, pemahaman itu kerap membuat pengguna, baik masyarakat umum maupun pegiat usaha menyematkan banyak tagar agar konten atau produknya bisa relevan dan ditemukan orang lain.

"Dan ini suka salah juga pengguna di Twitter menggunakan banyak tagar dalam sebuah posting. Padahal poinnya adalah objek dari konten, apakah untuk membuat engage, agar videonya di view, dan lainnya," kata dia.

Banyaknya tagar dalam sebuah cuitan akan membuat banyak area yang bisa diklik oleh pengguna, sehingga pengguna lebih berfokus untuk mengklik tagar-tagar itu.

"Dalam sebuah tweet yang tagarnya banyak, akan membuat clickable area yang banyak pula. Bayangkan kalau banyak clickable area, objek yang ingin ditonjolkan, malah terlewat karena terlalu banyak yang bisa diklik," jelas Dwi.

"Jadi, paling tidak maksimal dua tagar, atau dua clickable area di tiap tweet, biar pengguna bisa fokus ke objek konten kita," ujarnya.

Baca juga: Cuitan "belanja" naik dua kali lipat jelang "sale" akhir tahun

Baca juga: Twitter akhirnya kembali ke Mac dengan aplikasi baru

 

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019