Bangkok, Thailand (ANTARA) - Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah menyepakati pembentukan gugus tugas ad hoc untuk membantu proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar.

Gugus tugas tersebut akan bekerja di bawah Sekretariat ASEAN untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) berdasarkan laporan tim Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) bersama Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT).

“PNA lebih banyak dilakukan oleh AHA dan ERAT, tetapi kita perlu satu unit di Sekretariat ASEAN untuk memantau penuh implementasi dari rekomendasi. Karena itu para pemimpin sudah menyepakati akan dilakukan pendirian gugus tugas ad hoc di Sekretariat ASEAN,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam taklimat media di Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11) malam.

Kesepakatan tersebut telah dicapai dalam Pertemuan Pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-35 ASEAN di IMPACT Arena, Nonthaburi, Thailand, Sabtu (2/11) yang dihadiri para kepala negara/pemerintahan 10 negara anggota, termasuk Presiden RI Joko Widodo.

Menurut Menlu Retno, Indonesia memandang penting pembentukan gugus tugas ad hoc tersebut agar kemajuan tindak lanjut rekomendasi berupa aktivitas dan proyek prioritas dapat segera dilakukan, guna memastikan repatriasi yang bersifat sukarela, aman, dan bermartabat bagi warga Rohingya.

“Tadi bapak Presiden sudah menyampaikan bahwa Indonesia siap memberikan kontribusi agar gugus tugas ad hoc tersebut dapat segera berdiri,” kata Retno.

Baca juga: Indonesia banyak membantu penyelesaian masalah Rohingya

Gugus tugas tersebut akan beranggotakan para ahli yang ditentukan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, yang akan terlebih dahulu berkonsultasi dengan seluruh negara anggota ASEAN.

Pembentukan gugus tugas khusus untuk membantu repatriasi Rohingya itu juga akan dituangkan dalam dokumen Pernyataan Pemimpin KTT ke-35 ASEAN, di mana Thailand menjadi ketua.

Pada Maret 2019, tim dari ASEAN-ERAT dan AHA Centre telah mengunjungi Rakhine State untuk melakukan penilaian awal tentang kesiapan Myanmar menangani kembalinya para pengungsi Rohingya.

Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim tersebut mencakup empat komponen utama, yaitu keselamatan fisik, keamanan material, pendaftaran Rohingya, serta penyatuan sosial (social cohesion), untuk mencegah berulangnya konflik horisontal di Myanmar.

Baca juga: Isu kepercayaan perlu diselesaikan sebelum repatriasi Rohingya

Di sisi lain, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum justru menyebut “tidak ada kemauan politik dari Myanmar untuk memulangkan warga Rohingya”.

Menurut dia, hal itu disebabkan etnis Rohingya dianggap bukan warga negara Myanmar.

“Saya tidak melihat di level nasional Myanmar bahwa masalah etnis Rohingya merupakan isu penting,” tutur dia beberapa waktu lalu.

Tidak adanya komitmen dari Myanmar untuk memulangkan warga Rohingya, kata dia, terlihat dari tidak adanya jaminan keamanan, pemulihan hak kewarganegaraan, serta jaminan hak untuk bekerja bagi pengungsi Rohingya saat kembali ke Rakhine State.

Padahal, tanpa adanya jaminan dari pemerintah Myanmar, ujar Yuyun, para pengungsi Rohingya tidak bersedia dipulangkan ke Rakhine State -- tempat meletusnya konflik antara militer Myanmar dan gerakan pemberontak, yang mengakibatkan hampir satu juta warga Rohingya menyelamatkan diri dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh pada 2017.

Baca juga: Bangladesh upayakan pertanggungjawaban dalam kasus Rohingya

Baca juga: AICHR : penyelesaian proses repatriasi Rohingya butuh komitmen Myanmar

Baca juga: Menlu RI: situasi keamanan tantangan utama repatriasi Rohingya


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2019