Jakarta (ANTARA) - Pemilihan Umum Presiden 2019 baru saja usai melalui serangkaian kontestasi politik, drama kekuasaan, hingga manuver yang memecah belah rakyat. Selepas pemilu serentak, elite politik menanggalkan baju perang, kemudian makan bersama dan saling berpelukan.

Selanjutnya, kita melihat drama politik yang sesungguhnya dalam agenda safari politik atau rekonsiliasi Jokowi-Prabowo, makan siang Megawati-Prabowo, hingga pertemuan Surya Paloh-Anies Baswedan.

Safari politik Prabowo ke partai pendukung Jokowi-Maruf Amin merupakan bentuk rekonsiliasi. Prabowo punya kepentingan untuk menyampaikan kedekatannya dengan Jokowi dan Megawati. Minimal ada pemahaman yang sama bahwa Gerindra ingin membangun Indonesia bersama.

Setelah pesta demokrasi selesai dan Jokowi-Maruf Amin menjadi pemenang. Sebelum penentuan susunan kabinet, banyak terjadi manuver politik dengan nama safari politik atau apa pun itu, kemudian Gerindra mendapat dua jatah menteri, sementara NasDem tiga menteri.

Baca juga: Pakar: Surya Paloh terapkan "The Game Theory in Communication"

Padahal jauh sebelum pemilu 2019 dimulai, partai pertama yang mengusung Jokowi sebagai presiden adalah partai NasDem, baru partai-partai yang lain kemudian bergabung.

Apakah ini yang menjadikan gonjang-ganjing elite NasDem karena ketidakpuasan Paloh dengan hanya mendapat tiga menteri, sementara partai yang menjadi musuhnya mendapat dua jatah menteri?

Bibit perpecahan di tubuh koalisi pemerintahan pun mulai mencuat. Mulai dari tidak harmonisnya hubungan Paloh-Megawati hingga berlanjut dengan manuver politik NasDem dengan bersafari ke beberapa partai oposisi. Surya Paloh masih terus melakukan manuver politik ke beberapa parpol yang dengan tegas menyatakan sebagai partai oposisi.

Usai pertemuan dengan PKS, Ketua Umum NasDem Surya Paloh dengan tegas bicara soal check and balance dalam demokrasi. Menurut dia, check and balance itu harus tetap berjalan demi pemerintahan yang sehat.

Pemerintah yang sehat juga bisa menerima pikiran-pikiran yang mengkritisi. Bila pikiran yang mengkritisi tidak ada lagi, itu artinya kita khawatir jalannya pemerintahan itu tidak sehat.

Kemungkinan NasDem, yang saat ini berada dalam koalisi pemerintahan, berada dalam kubu yang berseberangan. Paloh dengan tegas menyebut NasDem bisa berada di luar pemerintahan. Jika demikian yang terjadi, itu berarti partai NasDem akan berdiri di dua kaki.

Baca juga: NasDem beroposisi, pengamat sebut Jokowi perlu ajak "ngobrol" Paloh

Kondisi demikian tentu akan berdampak negatif bagi jalannya pemerintahan. Lihat saja contoh konkret ketika partai PAN pada pemerintahan Jokowi-Kalla yang mejadikan PAN sebagai duri dalam daging.

Apa makna manuver-manuver politik Surya Paloh itu dalam konstelasi keindonesiaan kita? Ada beberapa refleksi mendasar, bagaimana kita melihat Indonesia dalam konteks politik mutakhir.

Bukan masalah ada kemungkinan akan berhadapan dengan pemerintah atau tidak, seluruh kemungkinan tetap ada. Itulah politik yang selalu dinamis, dan sudah pasti didasari oleh motif tertentu.

Motif seseorang untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan bisa didasarkan oleh motif ekonomi dan motif altruistik ( suka rela menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun atau tanpa memperhatikan kepentingan sendiri). Ada dua doktrin terkait dengan perjuangan untuk kepentingan politik. Pertama, doktrin liberal yang mengatakan bahwa motif perjuangan kepentingan politik ekuivalen dengan doktrin borjuis dari teori Charles Darwin tentang struggle for life.

Atas dasar itu di dalam arena politik maka perjuangan itu menjadi “perjuangan untuk posisi utama” dalam jabatan politik. Terkait dengan ini, persaingan memperebutkan posisi politik tersebut didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan sendiri.

Ini berbeda dengan doktrin kedua, yaitu pandangan kalangan konservatif bahwa motif perjuangan untuk politik didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan altruistik. Mereka yang berjuang untuk kekuasaan sesungguhnya didorong untuk mengabdikan diri bagi pelayanan masyarakat, suatu bentuk pengorbanan bagi kepentingan umum.

Baca juga: NasDem tegaskan Surya Paloh tak kecewa Gerindra gabung pemerintah

Berbagai manuver politik oleh para elite politik tersebut senada dengan pandangan Max Weber meski dengan bahasa yang berbeda. Weber menyatakan bahwa orang yang terlibat di dalam politik, terbagi atas dua tipe, yakni pertama karena faktor panggilan hidup (calling). Dia memasuki dunia politik sebagai bentuk pengabdian.

Kedua, mereka memasuki dunia politik kekuasaan karena faktor mencari pekerjaan dan penghidupan. Jika faktor pertama yang dikedepankan, politik sebagai ranah perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai idealisme, sedangkan faktor kedua dunia politik dipenuhi oleh pragmatisme dan oportunisme.

Jadi, kita mencermati lebih jauh munculnya manuver politik Surya Paloh tersebut untuk membangun oposisi maka yang terjadi pada partai-partai politik era reformasi ini disebabkan karena mereka memiliki motif hanya untuk kekuasaan, bukan karena panggilan hidup ketika mereka berkecimpung dalam politik.

Pertemuan Surya Paloh dengan beberapa elite partai oposisi pada pekan lalu banyak diartikan publik sebagai merapat dan bersatunya kubu oposisi yang akan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

Jika hal itu benar terjadi, pemerintahan Jokowi akan memiliki oposisi yang signifikan, kondisi yang tentu diharapkan akan lebih menjamin stabilitas politik.

Oposisi, berfungsi menyeimbangkan pemerintahan dalam suatu negara. Oposisi ini yang bisa dikatakan membantu mengarahkan pemerintahan untuk tidak kebablasan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Baca juga: Surya Paloh sebut demokrasi sehat butuhkan "checks and balances"

Nah, sebaliknya, kalau semua partai berkoalisi dengan pemerintah, dimungkinkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apabila kondisi demikian yang tercipta, tepat seperti apa yang dikatakan Lord Acton (18341902), Power tends to corrupt and Absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan absolut pasti disalah gunakan).

Maka, sehubungan dengan upaya peningkatan kualitas demokrasi melalui pembangunan oposisi, diarahkan pada upaya menumbuhkan kesadaran elite politik akan arti oposisi dan revitalisasi partai politik.

Tujuannya adalah agar muncul kesadaran yang lebih tepat akan demokrasi dan oposisi di level parpol serta meningkatkan kapabilitas partai dalam menjalankan peran demokratisnya, termasuk kemampuan partai dalam beroposisi.

*) Suryanto, S.Sos. M.Si adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Copyright © ANTARA 2019