Latihan dan persiapannya ini selama dua minggu.
Denpasar (ANTARA) - Sanggar Paripurna Bona, Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, mempertunjukkan wayang golek modern dengan efek cahaya dan animasi dalam gelaran Festival Seni Bali Jani di Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Senin malam.

"Ini kreativitas baru, dan baru tiga kali pentas. Saya memang menunggu biar bisa pentas disaksikan oleh masyarakat, terlebih di ajang Festival Seni Bali Jani, karena ini garapannya memakai bahasa Indonesia dan musik barat. Jadi semacam teater, tetapi dengan wayang golek," kata Pendiri Sanggar Paripurna Made Sidia di sela-sela pementasan.

Kehadiran wayang golek modern itu menarik begitu banyak perhatian, terbukti kursi penonton tidak ada yang kosong, bahkan tidak sedikit pula yang lesehan menikmati sajian dari sanggar asal Desa Bona, Kabupaten Gianyar, ini.

Garapan itu bercerita tentang 'Aji Panglimunan", sesosok tokoh bernama Burisrawa jatuh cinta kepada Dewi Subadra yang telah bersuamikan Arjuna. Saking ingin memiliki Dewi Subadra, Burisrawa sampai harus bersemedi di Setra Gandamayu untuk memohon kesaktian dari Dewi Durga berupa Aji Panglimunan atau ilmu bisa menghilangkan diri.

Karena kuat pertapaannya, Dewi Durga menganugerahkan kesaktian itu, namun dengan catatan harus digunakan dengan baik dan jangan disalahgunakan. Usai mendapat kesaktian bisa menghilangkan diri itu, Burisrawa sudah punya niat jahat, ingin menyelinap ke lingkungan keputrian Dewi Subadra saat Arjuna dan Pandawa pergi bertapa.

Burisrawa pun berhasil menyelinap dan Subadra dirayu serta dipaksa bahkan disertai ancaman. Tiba-tiba saja Subadra menancapkan keris yang dibawa oleh Burisrawa ke tubuhnya. Subadra meninggal. Burisrawa pun melarikan diri.

Pandawa amat terkejut setibanya di istana melihat Dewi Subadra tergeletak menjadi mayat. Mereka, bahkan prajurit, tidak tahu siapa yang melakukan itu semua. Akhirnya terpikir oleh Kresna untuk melarung jenazah Subadra ke sungai dengan harapan bisa mengetahui siapa pelakunya. Kresna berkata, siapapun yang mendekati jenazah Subadra, berarti dialah pembunuhnya, dan Gatotkaca, putera Bima ditugaskan untuk mengawasi.

Sementara itu, di wilayah Saptapratala, hiduplah putera Bima yang lain hasil pernikahannya dengan Dewi Nagagini bernama Antareja. Antareja dididik dengan baik oleh kakeknya, Anantaboga. Sebelum mencari sang ayah, Bima ke Indraprasta, Anantaboga membekali cucunya kesaktian bisa menghidupkan manusia kembali. Ketika di perjalanan, Antareja melihat perahu lewat berisi jasad Dewi Subadra. Maka Antareja menghidupkan kembali dewi yang terbujur kaku itu.

Namun, setelah Dewi Subadra hidup kembali, justru terjadi kesalahpahaman hingga terjadi perang antara Gatotkaca dan Antareja, mengira bahwa Antareja yang membunuh Subadra. Keduanya yang tak saling mengenal, lantas dilerai oleh Dewi Subadra dan menjelaskan semuanya, termasuk mengenalkan Antareja sebagai saudara Gatotkaca.

Akhirnya Gatotkaca, Antareja dan Pandawa mencari Burisrawa yang telah membunuh Subadra. Ketika Burisrawa tertangkap tangan dan hendak dihabisi, Kresna melarang. Kresna berkata biarlah karma yang akan menghabisinya. Datanglah Dewi Durga yang menghukum Burisrawa sesuai dengan perbuatannya.

"Ada dua pesan yang kami sampaikan di sini. Pertama, anak muda jangan mudah salah paham. Kenali dulu orangnya, jangan cepat menilai seseorang itu orang jahat ataupun musuh. Kedua, Burisrawa ini menggunakan kekuatannya untuk berbuat jahat. Nah, pesannya adalah jangan menyalahgunakan kekuatan atau kekuasaan. Di kehidupan boleh kita sekolah setinggi-tingginya, tapi akan sangat baik jika digunakan untuk kegiatan positif, bukan malah untuk hal-hal negatif," ujar Sidia.

Sidia mengatakan dalam menciptakan wayang golek modern ini kesulitannya adalah menggerakkan wayang karena satu tokoh wayang harus ada dua sampai tiga dalang yang menggerakkan.

"Antardalang harus bisa sinkron bekerja sama dengan baik. Jadi, tidak boleh dalang itu semaunya, harus kerja sama. Latihan dan persiapannya ini selama dua minggu," ucapnya.

Baca juga: Wayang golek tampil di Prancis

Di Bali sendiri, kata Sidia, wayang golek termasuk baru. Belum banyak yang menggarap. Made Sidia dan Sanggar Paripurna pun sempat menampilkan wayang golek modern ini di pura, yakni di Pura Desa Tojan Gianyar dan Pura Penulisan.

Baca juga: Teatrikal "wayang ental" pukau penonton "Bali Nawanatya"
Awalnya, dia sempat merasa pesimistis apakah wayang golek modern dengan berbahasa Indonesia ini bisa diterima. "Di pura justru orang kaget, kok bisa ada wayang begini? Masyarakat ternyata sangat senang bahkan ditunggu sampai terakhir oleh masyarakat. Responsnya lumayan baik," ucapnya.

Bahkan setelah ini, dia akan kembangkan lagi di masyarakat dan di sekolah-sekolah. Bahasa Indonesia digunakan untuk mempermudah mencerna jalan cerita yang disajikan dan pesan-pesan bisa tersampaikan.
Baca juga: Festival wayang internasional digelar di Ubud

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019