Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan harga berbagai pangan termasuk beras akan diperburuk dengan tingginya tarif impor sehingga penting bagi pemerintah untuk melakukan penghapusan hambatan nontarif perdagangan.

"Tingginya harga beras diperburuk oleh tingginya tarif impor. Tarif Rp 450 / kilogram diberlakukan untuk semua jenis beras impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2017. Lalu UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik. Undang-undang tersebut menekankan pada larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan," kata Galuh Octania di Jakarta, Jumat.

Menurut Galuh, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi terhadap perdagangan internasional.

Apalagi, ia juga menyebutkan bahwa Indonesia sudah menandatangani "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan.

Namun pada kenyataannya, Indonesia justru membatasi impor pada beberapa komoditas, meski pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat UU No 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non tarif.

Galuh berpendapat bahwa hambatan tersebut pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan harga beras secara signifikan, yang juga memengaruhi asupan kalori orang karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan bagi keluarga mereka, terutama orang miskin.

Saat ini, lanjut Galuh, produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga kestabilan harga beras. Produktivitas beras musiman telah berfluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton/hektare per tahun.

"Selain pembatasan tarif dan UU, impor beras juga dipersulit oleh proses impor yang panjang. Pemerintah telah menunjuk Bulog sebagai importir tunggal beras kualitas medium," katanya.

Kewenangan itu dinilai Galuh menjadikan mereka memiliki hak monopoli atas komoditas tersebut. Dengan demikian, keputusan untuk mengimpor beras hanya dapat dilakukan setelah kesepakatan dicapai melalui rapat koordinasi antara beberapa kementerian di Indonesia.

Sebelumnya, dalam memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) 2019, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengajak seluruh pihak, baik pejabat pimpinan daerah hingga anggota partai politik untuk turut bertanggung jawab memajukan pertanuan agar Indonesia mampu menyediakan pangan untuk kebutuhan dalam negeri, bahkan dunia.

Peringatan ke-39 HPS yang diselenggarakan di Desa Pudambu, Kecamatan Angantan, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/11), mengambil tema internasional "Our Actions Are Our Future. Healthy Diets for a #ZeroHunger World" dan bertema nasional "Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045".

"Kami berharap para gubernur, bupati, partai politik dan pemangku kepentingan memiliki cara pandang yang baik dan wajib bagi semua pihak untuk memajukan pertanian. Sebab masalah pertanian adalah masalah pertahanan pangan menyangkut pertahanan negara," kata Syahrul.

Syahrul menilai tema HPS tersebut dipilih dengan pertimbangan antara lain bahwa bangsa yang mandiri dan merdeka harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Indonesia berpotensi besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan tersebut, sehingga Kementan terus bekerja keras dalam menerapkan teknologi industri pertanian untuk mewujudkan peningkatan dan kesejahteraan petani serta pemenuhan lumbung pangan dunia 2045.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019