Sejak 1980-an, kampung ini dikenal dengan sebutan 'pelbak' atau pembuangan sampah
Jakarta (ANTARA) -
Nobby (25) adalah salah satu pemuda buta warna yang menggenggam mimpi besar menjadi pakar energi alternatif.

Berbekal kemampuan teknik elektro, dia membawa peradaban baru di kawasan kumuh Penas Tanggul.
 
"Saya punya niat menjadikan sungai ini sumber listrik untuk warga. Sekarang saya lagi coba merakit 'solar cell' untuk energi alternatif warga di kampung ini," ujar Nobby saat membuka perbincangan di teras rumah yang menghadap ke Kali Cipinang.
 
Panel pembangkit listrik tenaga surya bekas didapat Nobby dari tempat pembuangan, kemudian dirakit dan dipasang aki. Sang ayah, Sail Andi Supu (57) menjadi orang pertama pengguna solar cell di antara 60 rumah tetangganya di Penas Tanggul.
 
Buah tangan putranya itu mampu menghemat pengeluaran rutin listrik hingga Rp60 ribu per bulan untuk menerangi warung kelontong dan sejumlah perabot elektrik di rumahnya dengan jaminan masa pakai tiga tahun ke depan.

Baca juga: Warna-warni Danau Sunter
 
Lahir sebagai anak tunggal dari rahim keluarga berekonomi lemah, Anindya Afifa, Nobby ikut jejak sang ibu berkuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada 2016.
 
"Pas saya tes buta warna dan saat medical check up, saya sudah diingatkan tidak akan bisa masuk, kecuali jurusan sosial.Tapi saya sanggup di sini. Setelah berkompromi dengan hasil nilai yang saya dapat, ok saya masuk," kenang Nobby.
 
Pada September 2018, Nobby Sail Andi Supu dinyatakan lulus Strata 1 dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang terpaut 0,45 dari capaian nilai sempurna.
 
Tapi peluang kerja menjadi pegawai di Perusahaan Listrik Negara, Kereta Api Indonesia dan perusahaan swasta, seluruhnya kandas ketika seleksi terkait tes buta warna.
 
Mungkin benar bila tes itu menjadi teror tersendiri bagi Nobby. Sebab, nasib yang sama kembali dialami pria yang mirip tokoh kartun Nobita itu saat mencoba peruntungan di seleksi calon Pegawai Negeri Sipil formasi 2019.

Baca juga: Jembatan kaca mahasiswa percantik kampung di Malang
 
"Tapi saya ingin buktikan kepada mereka yang menolak saya kerja, bahwa saya bisa. Mungkin perusahaan seperti solar cell atau pemerintah, akan lihat. Oh, saya bisa," katanya.
 
Kiprah
Ada dua pilihan bagi Nobby saat dihadapkan pada keterbatasan, menyerah atau berjuang mengatasinya. Nobby memilih yang kedua.
 
Ketidakmampuan untuk membedakan warna merah dan hijau seakan membuka jalan baginya berkiprah untuk mengangkat derajat 350-an warga di kampung halaman.
 
Hingga tiga tahun lalu, kawasan Penas Tanggul di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur hanyalah lingkungan kumuh yang menempati lahan eks garapan.
 
Sejak diberangkatkan oleh Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) untuk studi banding ke Kali Code, Yogyakarta pada 2017, Nobby dipercaya menjadi motor penggerak perubahan di Penas Tanggul.
 
Bukan perkara sulit bagi Nobby meyakinkan warga 'pinggiran' yang dikenal bertabiat acuh pada lingkungan. "Sebab kita memiliki kemauan yang sama untuk mengubah citra kampung ini jadi lebih baik," katanya.

Baca juga: Malang perluas kampung warna-warni di DAS Brantas
 
10 Juni 2017, kawasan berpopulasi 350 jiwa di RT15 RW02 Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur itu mulai bersolek melalui peran swadaya warga.
 
Kampung Warna Warni Tanpa Rokok. Demikian sebutan bagi tempat tinggal 73 kepala keluarga yang mayoritas berekonomi lemah. Separuhnya putra daerah, sisanya pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 
"Kita patungan satu warga ada yang Rp20 ribu sampai Rp200 ribu untuk beli cat. Kita juga bikin pagar di tepi kali sepanjang 200 meter. Konsepnya mirip dengan Kali Code," katanya.
 
Tak kurang dari 60 unit bangunan aneka warna berderet memanjang di atas rata-rata lahan 4x7 meter persegi menghadap ke Kali Cipinang. Bagian depan rumah dicor jalan setapak di atas kontur tanah tepian kali.
 
Kesan kumuh seakan hilang, sejak warga aktif menanam di depan rumah mereka. Kehadiran pohon-pohon berdaun hijau menghiasi Penas Tanggul.

Meski belum menjulang tinggi, tapi bagian batang di tepian kali mulai memperlihatkan daun-daunnya yang kian hari semakin menghijau.

Baca juga: Anies ingin Jakarta meniru Yogya menata kampung kumuh
 
Sungai Cipinang yang dibatasi pagar besi memanjang 200 meter buatan warga, tampak bersih dari sampah. Masyarakat sekitar seakan telah sadar akan ancaman bencana dari kerusakan lingkungan.
 
Berjarak selemparan batu dari Penas Tanggul, berdiri lapangan futsal sebagai ruang publik yang dibangun dari uang warga. "Sekarang kita sudah punya lapangan futsal," ujar pria penghobi sepeda itu.
 
Empat bangunan toilet umum di dekat perpustakaan dan pendopo bantuan dari PT Waskita Karya dan PT Adhikarya kian melengkapi fasilitas kampung yang didominasi kalangan remaja dan anak-anak.
 
Pun pipa pasokan air bersih dari PT Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya sudah terpasang sampai ke seluruh rumah penduduk sejak tahun 2000-an.
 
Tanpa Rokok
Aturan tanpa rokok di Penas Tanggul berlaku seiring deklarasi Kampung Warna Warni. Kali ini bukan perkara mudah bagi Nobby membuat pecandu rokok di kampung itu berhenti dari kebiasaan.
 
Kaum ibu pun dikerahkan untuk menegur suami mereka yang perokok untuk menghindari konflik antarwarga.

Baca juga: DKI Jakarta akan tata 16 kampung kumuh

Awalnya, larangan cuma berlaku di dalam rumah untuk melindungi keluarga dari risiko berbahaya bagi kesehatan.
 
"Kita bertahap, di sini tidak bisa langsung dilarang, warga tidak setuju. Jadi bertahap, di dalam dan teras rumah tidak boleh merokok. Di luar rumah bisa tapi ada dendanya Rp20 ribu kalau ada yang ketahuan. Dendanya masuk kas RT untuk pembangunan sarana prasarana kampung," katanya.
 
Berkat konsistensi yang berlangsung selama dua tahun, Penas Tanggul berhak atas pengakuan Komnas Pengendalian Tembakau RI di bawah Kementerian Kesehatan, sebagai agen perubahan dalam pengendalian tembakau di Indonesia pada 2018.
 
Lima orang perokok berhenti total dari kebiasaannya, serta puluhan lainnya mulai mengurangi konsumsi merokok.

Baca juga: DPRD tunggu masukan masyarakat terkait anggaran RW kumuh
 
"Kami bisa buktikan bahwa permukiman di bantaran kali bisa terlihat indah dan asri serta jauh dari kesan kumuh. Kita juga beberapa kali terima warga dari daerah lain yang studi banding ke sini," ujar Nobby.
 
Sejarah kelam
Jika bukan peran Erna Witoelar, mungkin sekarang Kampung Warna Warni Penas Tanggul masih menjadi tempat penampungan sampah liar di bantaran sungai, kata warga setempat, Sumiyati.
 
Perempuan yang aktif di Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian LSM Fakta itu masih mengenang jasa Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah di era Presiden Abdurahman Wahid itu saat memberikan legalitas tempat tinggal bagi warga Penas Tanggul.
 
"Sejak 1980-an, kampung ini dikenal dengan sebutan 'pelbak' atau pembuangan sampah. Warga awalnya tinggal di gubuk secara ilegal di belakang Kantor Kementerian Lingkungan Hidup. Sekitar 200 meter dari Penas Tanggul," katanya.

Baca juga: Pemerintah ingin merevitalisasi kawasan nelayan kumuh
 
Hampir di setiap rezim baru kepemimpinan gubernur, sebanyak 15 kepala keluarga di lokasi itu tidak pernah luput dari sasaran penggusuran secara paksa, sebab menghuni tanah negara dan membuatnya kumuh.
 
15 kepala keluarga korban gusuran pun bergeser menuju lahan kebun kangkung di belakang Perfilman Nasional (Penas) dekat tanggul Kali Cipinang pada 1982. Syaratnya, membayar sewa Rp50 ribu per meter kepada penggarap.
 
Tiga tahun berselang, surat peringatan pengosongan lahan kembali datang. "Kita mengadu ke LSM Institut Sosial Jakarta yang sekarang bernama Fakta, kita demo ke DPRD, Komnas dan kantor gubernur," kisahnya.
 
Organisasi pimpinan Azas Tigor Nainggolan itu berhasil mengadvokasi warga Penas Tanggul hingga penggusuran pun urung. Alasannya, seluruh warga telah ber-KTP DKI meski menumpang di kartu keluarga di RT tetangga.
 
Atas arahan Tigor, warga diajak menghapus stigma kumuh dengan membenahi satu per satu permasalahan sosial di sana. Mulai dari menjaga kebersihan, menata lingkungan hingga membangun kebiasaan baik.

Baca juga: Mengubah permukiman kumuh dengan kampung deret
 
Mei 2000, Tigor mengajak Erna Witoelar menuju Penas Tanggul. Atas pertimbangan situasi kampung yang rapi dan bersih, Erna memerintahkan Lurah Husein Toyib kala itu untuk memfasilitasi RT/RW di Penas Tanggul.
 
"Jadilah Penas Tanggul sebagai RT bontot di RW02 ini. Air PAM mulai masuk, subsidi keluarga miskin pun mulai kita terima, KTP kita pun sudah domisili di sini," katanya.
 
Meski telah memperoleh pengakuan pemerintah, namun ancaman banjir masih membayangi Sumiyati dan puluhan tetangganya.
 
Jika air sungai meluap karena hujan deras, seluruh rumah warga dipastikan terendam hingga kedalaman dua meter, itulah mengapa, rumah di Penas Tanggul sekarang seluruhnya berlantai dua.
 
"Biasanya saya dan warga lainnya mengungsi ke kuburan cina yang ada atapnya, bisa empat sampai tujuh hari di sana. Zaman itu belum ada bantuan pemerintah," katanya.

Baca juga: Iwan Fals mengecat bekas kampung kumuh Gresik
 
Jalan panjang mewujudkan Kampung Warna Warni Tanpa Rokok, sejatinya adalah bentuk perjuangan warga Penas Tanggul untuk menghapus stigma kumuh.
 
Apa yang dilakukan Nobby dan warga lain di kampung itu boleh jadi kecil skalanya, tapi rintisan tak bisa dimungkiri memberikan sumbangsih tersendiri di tengah setumpuk persoalan kawasan kumuh di Jakarta.

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019